Cerpen yang pernah diikutsertakan di Lomba Perhutani Green Pen Award 3, tapi lagi-lagi gagal :(

Tuah si Pohon Penjaga

Matahari masih di atas kepala ketika Sang Pohon Bertuah tiba-tiba menyentakkan ujung rantingnya. Batangnya yang besar seolah raja berpadu dengan akarnya yang meghujam kuat ke tanah bak singgasana. Keras terguncang, lempengan bundar yang menggantung itu lepas jua, terpisahkan dari induknya, terpisahkan dari dunia kecil yang selama ini melindunginya.
Biji itu jatuh pada pucuk anakan dara-dara. Lalu terhempas pelan menyibak alang-alang yang menguning, terjungkal, terjerembab lagi hingga tiba diatas tanah kerontang. Sayup-sayup terdengar kepakan enggang, dua ekor hinggap di balau, berkoar-koar sahut menyahut menyambut peristiwa di depan matanya, menatap lekat sembari menggoyangkan mahkotanya, bagian yang paling sering diburu, keindahan yang mengancam mereka pada kepunahan.
Sang Pohon Bertuah berguncang lagi. Dilihatnya bagian tubuhnya yang terluka. Bekas-bekas akibat sayatan di kulitnya mulai memudar. Para pencari gaharu, atau para pemburu babi sering bersandar padanya usai lelah seharian mencari. Ada pula para pekerja tambang yang berburu kerantungan, sering iseng mengayunkan parang mereka ke kulitnya. Bertaruh pada kawannya, apakah sang pohon bertuah itu berpenjaga atau tidak. Jika kuning getahnya, bisa dipastikan ia ber-penghuni, jika putih getahnya, maka pohon itu tidak berpenjaga. Begitu keyakinan mereka. Padahal, dimana pun ia berada, familia Sang Pohon bertuah itu tak pernah hidup sendirian.
Lihatlah, semua perhatian tertuju padanya. Mungil, rapuh dan selalu terancam. Bisa saja suatu hari ia akan berada di pinggiran Mahakam yang meliuk megah di tengah Kalimantan, bisa pula ia berada di bawah naungan keruing yang rindang, bahkan ia bisa saja berada dalam rongga mulut si burung pemakan biji-bijian! Tapi tidak untuk yang terakhir ini, petuah dari Sang Bunda membuat tak seekorpun burung, bahkan harimau sumatera yang aumannya terdengar hingga ke pulau seberang berani menyentuhnya sedikit pun.

Hari ini ia dilahirkan.
            “ Kau akan menemukan kehidupan barumu, Ara.”
Biji beringin putih itu memekik ketika Sang bunda melontarkan kalimat yang bahkan sebelumnya tidak diawali kata pengantar untuk menyambutnya ke kehidupan barunya. Bagaimana mungkin ia harus lekas pergi ketika ia baru saja melihat dunia yang tak pernah ia bayangkan. Yang luas, tak ia kenal.
Membisu. begitu tingkahnya menanggapi perkataan  sang Bunda.
“ Suatu hari nanti, kau akan berada di tempat seharusnya kau berada. Menjalankan takdirmu, melaksanakan tugasmu seperti yang pencipta kita maksudkan. Darimu suatu kehidupan akan berawal dan berakhir “
Si biji beringin masih disana. Belum berani melangkah, berhari-hari dalam buaian serasah. Pagi ini ia melihat buah meranti yang terbang indah. Sayapnya yang kecoklatan begitu anggun berpilin. Lima tahun menanti, pohon itu berbunga jua. Setelah berlama-lama menari diangkasa, buah meranti pun mendarat di permukaan. Mendadak angin berhembus kencang, menerbangkan buah meranti lagi. Dua sayapnya terbentang bak bidadari, hilang entah kemana. Si biji beringin putih sendiri lagi.
Bukan itu saja. Pagi ini angin juga mengabarkan padanya, pada Si Pohon Bertuah, pada belukar yang mengerang karena daunnya habis dimakan belalang, pada anggrek bulan yang bunganya baru saja mekar, pada ilalang yang batang kurusnya mengayun pelan, dan,  pada tanah tempat semua makhluk itu menyimpan memori masa depan, kode genetik yang tersembunyi dalam sekeping ‘biji’. Bahwa, ada bencana hebat yang membunuh saudara mereka. Di ujung pulau sana, kanopi lebat yang nenek moyang mereka ceritakan sudah habis terbakar. Orang utan tunggang langgang, pelatuk meninggalkan sarang, bayi macan kumbang terpisah dari induknya, hilang tak tentu rimba, mati tak tentu kuburnya.
“ Manusia lagi ! “ pekik lemur yang muncul di balik dahan, menambah sorak kerajaan rimba yang tersembunyi di balik cantiknya Bukit Bangkirai.
“ Bukan main beraninya. Satu saja kudengar langkah kaki makhluk fana itu di rumah kita, akan kuhabisi mereka,” timpal bangkai laut. Kepalanya yang bulat-segitiga beringsut lamban diikuti ekornya yang kemerahan. Seluruh semesta tahu betapa berbahayanya taring yang tersembunyi dalam rahangnya, si nokturnal yang menyimpan tuba. Orang Dompu Sumbawa percaya bahwa ketika mereka berburu di hutan dan tak sengaja menyenggol tempat istirhatnya, orang pertama dari rombongan tersebut akan selamat sedangkan orang kedua atau berikutnya akan digigit. Bukan karena doa pada dewa, tapi karena si bangkai laut ini malas saja beranjaknya dari tidur siangnya.
“ Sudahlah, mereka akan menanggung akibatnya. Keturunan mereka akan mati karena gas beracun. Dan, ketika dunia mereka penuh karbondioksida, kita akan hidup damai sentosa ! “ seruan setuju riuh, sahut menyahut dari jauh. Sepertinya seluruh penguasa tempat itu sepakat untuk mendoakan kepunahan manusia, dua tiga malah berseru “ Dan bahkan ketika manusia di ambang kepunahannya, disiksa keserakahannya, mengharap oksigen, janganlah ada dari kita yang menolongnya ! “Lebih kejam, tengkawang mengancam. Bagaimana manusia bahkan makhluk hidup bertahan jika unsur kehidupan tersebut hilang ?
Hari itu kepercayaan mereka pada manusia semakin pudar. Layaknya kayu yang menjadi arang. Layaknya arang yang beralih debu, menghambur tak karuan, habis dimakan waktu. Kehidupan akan terus berjalan. Entah peduli atau tidak, entah dengan diingat atau terabaikan, entah dengan menerima atau menentang jalan yang ditakdirkan, ulat akan tetap berubah menjadi kupu. Bunga yang indah akan layu, singa yang garang akan menjadi belulang, bahkan manusia yang sempurna akan sirna.
“ Selamat tinggal, Ibu. “
Kata-katanya hampir tercekat. Ada rasa sedih yang menggeliat. Januari hampir usai, ara kecil berpamitan. Pada sebatang pohon beringin putih tua, membawa pesan untuk alam yang akan merawatnya.
“ Angin timur akan menjagamu. Ingat, ara. Setiap jiwa memiliki cinta, dan cinta yang tulus akan melahirkan kebaikan. Dan bulir-bulir kebaikan itu akan beranak pinak menjadi banyak.”
Aku mengikutinya, mengikuti perjalanannya, bersama udara yang bergerak tenang membawa butir-butir hujan. Nol koma delapan knot, tiga hari tiga malam, biji beringin putih tiba pada tanah gersang. Dilihatnya cabang-cabang hitam berserakan. Pemandangan yang nampak hanya kelam, sisa-sisa kerakusan manusia-yang manusia sebut bencana alam.
Aku merasakan gurat kekecewaan di hatinya. Ara kecil tidak berdosa, aku tidak akan membiarkannya tumbuh disini, di tempat ini, dimana-mana hanya ada bekas kejahatan tangan manusia. Lalu gurat kekecewaan itu berganti seberkas harapan ketika sesosok ...
“ Duhai putra benjamin, ada apakah gerangan sampai disini ?”
Ia Macaranga gigantea.
Sang pahlawan, sang pembuka jalan kehidupan. Awam menyebutnya pioneer Rumahnya di bekas tambang, di tapak penuh pengasingan, penuh jerit penderitaan. Sudah kenyang ia makan asam garam. Menjinakkan unsur-unsur hara yang terikat pada akarnya, bergulat dengan batuan keras, beradaptasi dengan cepat.
“ Sekali benci tertanam di hatimu, ia akan mengakar, menggerogoti anugerah terindah dari Sang Pencipta. Kau tahu, Nak. Setiap dari kita diciptakan berbeda. Aku misalnya. Takdirku adalah mengembalikan kehidupan sebelumnya, memulai jejak baru dimana tunas-tunas itu akan bersemi nanti,” ujarnya berapi-api.
Kulihat semangatnya yang berkobar, dan tentu, ketulusan yang membuatnya bertahan. Baginya, melakukan kebaikan tak perlu menunggu balas. Ara mengangguk paham, dan demi melihatnya tumbuh, aku rela melakukan apa saja untuk melindunginya.
Siang beranjak malam. Senja melukiskan siluet sosok-sosok besar di rimba, yang berdiri angkuh, yang menelan gelap dalam kabut pekat. Konon, daerah ini adalah sudut paling angker dari Bukit Bangkirai. Pernah terdengar cerita tentang seorang pencari damar yang tersesat lalu ia ditemukan dalam keadaan meninggal. Mayatnya penuh dengan luka sayatan rotan. Ada lagi cerita tentang penebang pohon, chainsawman istilah asingnya, sore hari di petak yang berbatasan dengan bukit ini, masih nekat menebang. Gergaji mesinnya menderu-deru, bisingnya menganggu “Sang Penunggu”. Lalu ia tewas di tempat tertimpa bulian, pohon dilindungi yang seharusnya tak ia tebang. Matinya berdarah-darah, kepalanya pecah. Orang mengira semua ini karena sebelumnya ia ‘kepuhunan’. Padahal, alam sudah mengisyaratkan. Jangan bekerja di kala petang. Mata pisaunya tersangkut liana, berubah arah takik rebahnya. Mitos setempat menyebutkan jika seseorang di dalam hutan merasa ingin memakan sesuatu lalu ia tidak memakannya, maka ia akan tertimpa musibah. Beberapa selamat, beberapa tulang-tulangnya patah. Jadi, ia harus mencicipi walaupun hanya seujung jari. Cerita tentang kepuhunan juga disangkutpautkan dengan pohon keramat.
Ara bersembunyi di balik banir kempas. Di bagian yang lain, beruang madu sedang tertidur pulas, memeluk anak-anaknya yang baru dua kali fajar melihat buana. Besok, angin timur akan membawanya pergi lagi.
Lalu, ketika malaikat-malaikat pembagi rejeki sedang bekerja, ketika surya masih bersembunyi di persinggahannya, ara terjaga. Dilihatnya bola-bola bercahaya melayang, lalu melesat ke berbagai penjuru. Ada yang hilang dalam semak, ada yang melintas di atasnya menuju pucuk merbau, semuanya mendapatkan satu. Kelak, bola-bola cahaya itu akan membuat musang di makan ular. Bola-bola cahaya itu nanti siang mungkin akan membuat rusa terkena tembakan, menjadi santapan pemburu-pemburu yang sudah dari seminggu menunggu hasil jerih payahnya. Lalu satu kristal berwarna merah muda tiba di depan ara.  Hari ini ia mendapatkan dua.
Johanneste ijsmaria altifrons ! “ seru seseorang dengan lantangnya.
Di belakangnya, seorang laki paruh baya mengikuti, bergeleng-geleng kepala.
“ Ini salah satu pohon yang dilindungi itu kan, Pa “
Tangan kecilnya meraba setiap lekuk daun besar yang ia sebut dengan nama yang aneh. Lipatan-lipatan yang rapi, tekstur yang tebal, dan berombak. Kegembiraannya buncah. Senyumnya melebar membentung cekungan di sudut bibirnya. Bocah itu manis juga.
“Ini apa, Pa ? “
Matanya tertuju pada biji kecil yang tersangkut di sela tulang daun pohon payung itu. Oh tidak ! Ara ada disana, itu pasti Ara. Aku tidak akan membiarkan bocah manusia itu menyakiti ara. Beberapa orang yang masuk ke hutan, mengambil biji-bijian untuk diawetkan, dibenamkan dalam cairan yang ku tak tahu apa namanya. Dijadikan uji coba, ada juga yang dijadikan hiasan dalam kaca. Kejam karena ia tak memberi ruang untuk tumbuh. Kejam, karena ia merebut kebebasannya. Bahkan satu biji yang kau pikir mati itu sebenarnya hanya tidur, dorman dalam diamnya.
“ Wah, kau menemukan buah dari surga, sayang. Ini biji beringin putih, kerabatnya buah tin. Kau sering menyebutnya dalam hapalan juz 30-mu. Kalau sudah menemukan tempat yang cocok, dia akan hidup disana. Tumbuh besar, akar-akarnya akan menghujam kuat, dia adalah salah satu pohon yang bernilai penting sebagai pohon penjaga.“ Uraian kalimatnya terpotong
“ Penjaga apa pa?” tak sabar sibocah menyela
“Tata air, sistem penyangga kehidupan. Biasanya dia tumbuh didekat sungai,” terangnya lagi
Laki paruh baya itu lupa menjelaskan tentang satu nilai yang selama ini kuat dipercaya masyarakat, sebagai pohon keramat yang memiliki nilai religi. Sebagai tempat dimana warga lokal menaruh sesaji. Ah, manusia. Buku tebal beratus halaman itu tidak akan mampu menjelaskan satu saja tentang sebatang pohon, bahkan sekeping biji, Ara.
Aku melihat mata si bocah berkaca-kaca, menatap kagum pada biji yang ada di genggaman tangannya. Sekali dia bertingkah, akan kuberi pelajaran.
“ Boleh kubawa pulang, Pa ?”
Berani benar dia ingin membawa Ara.
“ Jangan, Sayang. Biarkan dia tumbuh disini. Kau tentu tidak ingin memisahkan ia dengan ibunya, bukan ? “ Laki paruh baya yang kupikir ayahnya itu mengusap kepala si bocah penuh rasa sayang. Ia tidak tahu jika Ara sudah terpisah dari ibunya sekian lama, ia tidak bisa merasakan rindunya Ara, seperti rindu khatulistiwa pada aurora. Jauh, bahkan untuk menitip salam pun entah kapan kan tiba.
            Ternyata manusia masih memiliki cinta. Dari caranya memandang, dari tatapan matanya.
            “Pa, sakit Pa !” Tak ada yang tahu kenapa si bocah seketika menjerit.
            Lengan kanannya bengkak, wajahnya pucat pasi. Menggigit bibir.
            Lalu kulihat ada bekas upas mengecap di tangannya. Racun itu dalam hitungan detik akan menyebar ke seluruh tubuhnya. Oh Tuhan, jangan kau ambil nyawa bocah ini sekarang. Aku tahu dari semua jenis manusia di dunia dia adalah salah satu yang masih memiliki hati. Lalu aku teringat pada bola-bola yang Ara bawa. Bola-bola itu mungkin bisa menyembuhkannya. Tapi rencana Tuhan tiada yang menduga. Aku, Ara, dan laki-laki paruh baya itu hanya bisa menatap iba. Dalam sekejap mata, dalam kecepatan cahaya, bocah itu menjemput ajalnya.  
            “Aaaaaaaaaaaaaaaa “
            Aku bersimpuh. Aku tidak begitu menyukai bocah itu, tidak juga membencinya. Cintanya yang murni telah kembali ke Sang Pencipta, dalam dekapan sunyinya Bangkirai.
            “ Kita harus pergi, “
             “Kemana lagi ? “ Ara masih dalam dukanya.
Angin timur berhembus kencang. Kali ini melebihi dua puluh mil per jam. Masih dalam pilunya menyaksikan kematian bocah, Ara terbang kembali. Sekian lama perjalanannya, ia hanya mendapati nestapa.
            “Aku tidak ingin hidup ! “
            “Kau harus tetap melajutkan perjalanan ini, dan aku akan tetap bersamamu.”
            Seandainya Ara tahu betapa aku mencintainya. Seandainya dia tahu aku adalah salah satu yang telah lama menunggu kehadirannya, kelahirannya.
            Kali ini angin membawanya ke sebuah telaga. Termenung sejenak. Ara kecilku sudah tumbuh dewasa. Lalu ia jatuh cinta. Pada latosol coklat, yang juga telah menantinya. Kristal berwarna merah muda yang dulu ia bawa membumbung ke angkasa. Cintanya pada latosol akan membuatnya hidup bertahun-tahun lagi, lalu beranak-pinak menciptakan ara-ara kecil lagi. Tugasnya adalah melindungi belantara, sementara tugasku adalah melindunginya. Dan disini aku menceritakan padamu, berbagi kisah pada generasiku, seperti dongeng yang menjadi pengantar tidur, seperti legenda yang diceritakan turun temurun. Aku, bukan ingin menakutimu, menggoda manusia, menampakkan wujud yang sudah mereka terka. Aku hanya ingin melindungi ara-ku, dari parang-parang para pencari gaharu, dari kalian yang mungkin tak sengaja memanggilku. Ketika bau dupa tetiba semerbak, ketika bulu kudukmu tetiba beranjak, mungkin aku sedang ada di belakangmu.

SEKIAN

           









Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPS MENANG LOMBA FOTO INSTAGRAM

Kembang Ilalang di Padang Gersang

Kisah pkl (Tulisan ini telah dipublikasikan di laman web National Geographic Indonesia sebagai kompetisi cerita “Travel Mate” yang diadakan oleh NatGeo Indonesia)