Kembang Ilalang di Padang Gersang

waah..ternyata saya masih gagal "lagi"..hahaha
cerpen ini baru kemarin saya ikutsertakan lomba menulis cerpen dilomba cerpen nasional yang diadakan  Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang..tapi ternyata saya belum beruntung =D



Kembang Ilalang di Padang Gersang
Suara perdu yang terusik bergantian mengayunkan daun-daunnya. Seorang bocah laki-laki berlari tanpa mempedulikan kerumunan kerikil yang tersebar di hadapannya. Kakinya yang tergopoh-gopoh terluka oleh dedurian putri malu yang tergores di punggung kakinya
yang tak terlindung alas kaki. Beberapa buah koin terdengar bergemerincing jatuh dari saku celananya yang usang. Ternyata, saku yang ditambal dengan kain perca itu jahitannya sudah tidak kuat lagi. Ia masih berlari, hingga langkah kakinya terhenti di sebuah pondok mungil yang terlihat begitu rapuh. Ia menoleh ke belakang, kemudian mendesah berat. Kepalanya menunduk melewati pintu yang daun pintunya sudah keropos dimakan rayap yang rakus, yang tak pernah tahu bagaimana sebuah pondok kecil itu dibangun dengan susah payah.
“ Abang kenapa? “ seorang gadis kecil menyambut bocah itu dengan tatapan matanya yang masih polos
“ Tidak apa-apa. Kau sudah makan ?” sahutnya dengan nafas yang setengah memburu
 Gadis kecil itu hanya menggelengkan kepalanya
“ Tak ada apapun yang bisa kita makan, Bang,” lanjutnya berkaca-kaca.
            “ Ini, makanlah,”
 Lalu bocah laki-laki itu menyerahkan  kantung plastik lusuh pada gadis kecil itu. Diterimanya bungkusan hitam yang berisi beberapa potong kue dengan mata berbinar. Sedangkan si bocah kecil masih mencoba mengatur nafasnya. Bayangan tentang pemuda-pemuda berandal yang menghadangnya di pasar melintas kembali. Tiga orang lelaki berwajah menyeramkan menghadangnya tadi. Mereka berusaha merebut helaian uang miliknya saat ia baru saja mengantarkan pesanan kotak telur buatannya ke sebuah warung sembako di pinggir kota. Dengan sigap ia berlari tanpa menoleh apakah para pemuda pengangguran itu masih mengejarnya. Si bocah lalu membanting tubuhnya, meringkuk di kasur kapuk yang pinggirannya sudah mulai terkoyak.
            “ Bang Nuh sudah makan ?” tanya gadis  berambut keriting itu sembari duduk di bibir kasur
            “ Sudah, “ dustanya
Nuh kecil berbohong pada adiknya, Aisyah yang tengah mengunyah kue pandan dengan nikmatnya. Kue itu ia dapatkan dari Kong Ucup, kekek tua yang selama ini membantunya untuk bisa hidup dengan memberinya pekerjaan menjadi seorang tukang pembuat kotak telur dari kayu. Di usianya yang belum sampai dua belas tahun itu, Nuh harus terbiasa menghadapi hari-hari yang begitu sulit. Wanita yang telah melahirkan mereka berdua, telah kembali pada Sang Khaliq karena penyakit kanker rahim. Sedangkan ayah mereka, hanya seorang laki-laki kejam yang tega membiarkan kedua anaknya terlantar demi seorang janda muda yang ia temui saat hajatan di desa sebelah, seorang penari ronggeng.
*
Matahari menyembul dari ranting-ranting pohon  meranti yang berdiri kokoh di samping gubuk peninggalan orang tua Nuh dan Aisyah. Cahayanya yang masih merah tak mampu membuat langkah kaki Nuh terhenti. Ia harus bergegas ke rumah Kong Ucup untuk menyelesaikan pesanan kotak telur para pelanggan setia. Setibanya di rumah Kong Ucup, ia langsung mengambil beberapa ikat kayu dan melepaskan tali-tali yang melingkarinya. Sebuah palu yang sedikit berkarat ia keluarkan dari kotak perkakas tua. Dengan jeli ia memilih paku-paku berukuran sedang yang akan ia rangkai untuk membuat sebuak kotak. Tangan mungilnya sudah lihai mengukir pola, meski terkadang kelelahan membuat jemarinya terluka terkena hantaman palunya sendiri.
“ Sudah datang kau ternyata..” suara parau terdengar menyapanya
Nuh hanya tersenyum membalas sapaan Kong Ucup. Ia tahu, pria baik hati itu pasti datang dengan sepiring ketela goreng yang selalu ia berikan sebagai camilan untuk para pekerjanya. Nuh sudah ia anggap sebagai cucunya sendiri. Ia menyayanginya lebih dari pekerja-pekerjanya yang lain. Terkadang ketika Nuh pulang, ia sering membawakan Nuh masakan istrinya. Anak semata wayangnya dan dua orang cucunya itu tidak ada bersama mereka. Mereka ada di luar negeri dan hanya setahun sekali mengunjungi orang tua mereka. Di jaman sekarang ini, langka sekali orang yang ingin membeli kotak telur dari kayu. Tempat telur dari styrofoam dirasa lebih praktis dan murah. Namun sebenarnya,kotak telur dari kayu lebih kuat dan bisa tahan lebih lama. Kong ucup sebenarnya ingin menutup usahanya itu. Namun, iba dengan nasib ketiga pekerjanya, membuatnya bertahan memproduksi barang yang mulai jarang keberadaanya di pasaran. Nuh hanya dapat menyelesaikan dua kotak telur berukuran kecil, atau sebuah kotak telur besar perharinya. Upah yang ia terima juga tidak seberapa. Hari ini ia hanya mampu menyelesaikan sebuah kotah telur kecil. Badannya sedikit demam, tapi ia tak pernah berkeluh kesah. Doa yang terbetik di hatinya selalu memberikan secercah harapan akan perubahan nasib mereka.
Sore hari ketika matahari mulai menelungkup hilang di kaki langit, Nuh pulang dengan menjinjing tas rajutan bambu dari istri Kong Ucup. Didalamnya ada rantang yang berisi sayur asam dan sepiring nasi yang cukup untuk makan malam mereka berdua. Kong Ucup juga memberi mereka sekerat roti tawar meses yang nampaknya lezat. Aisyah pasti akan senang sekali ketika abangnya datang membawa oleh-oleh itu. Ia begitu bersyukur, di tengah keterbatasannya, masih ada orang yang begitu baik menolongnya. Selalu ada rejeki. Pertolongan Tuhan selalu datang pada seseorang yang mau berusaha dan memohon tanpa putus harapan.  Kakinya bergerak menyusuri jalan setapak yang selalu ia lewati setiap pagi dan petang. Setiba di depan sebuah sekolah dasar, ia terdiam sejenak. Dipandangnya bangunan yang begitu akrab dengannya itu. Tatapannya meneduh. Kembali teringat akan saat-saat dimana ia dan teman-temannya menimba ilmu dan bermain riang di halaman yang rumputnya menghijau. Berbaris rapi mengikuti upacara bendera setiap hari Senin. Lalu, ia teringat panggilan kawan-kawannya saat ia masih menjabat menjadi ketua kelas. Kapten, begitu mereka memanggil Nuh. Ah, tak mungkin rasanya ia akan berada di tempat itu lagi. Ini adalah bulan keenam semenjak ia harus rela mengubur cita-citanya untuk mendapatkan ijazah sekolah dasar. Ya, Nuh terpaksa putus sekolah.  Tak ada uang, siapa yang peduli dengan nasib kebanyakan anak-anak terlantar dari keluarga miskin yang tak bisa melanjutkan pendidikannya. Ia berharap sekali suatu hari nanti ia bisa berkumpul lagi dengan teman-temannya, menghabiskan masa kanak-kanaknya layaknya bocah-bocah kecil lain. Tak perlu berjuang keras demi mendapat sesuap nasi. Kasih sayang, suatu benda abstrak yang begitu ingin ia dapatkan.
Nuh pulang dengan peluh yang membasahi seragam bekasnya. Ia tak punya banyak baju. Hanya beberapa potong seragam sekolah dasar yang kancingnya sudah mulai lepas, dan sebuah kaos kumal pemberian ibunya saat ia berulang tahun ketujuh, pakaian yang ia miliki.
Rumah yang dindingnya terbuat dari triplek itu nampak sepi. Betapa terkejutnya Nuh saat ia menemukan adiknya yang berusia delapan tahun, Aisyah terbaring di lantai dengan wajah yang begitu pucat. Dirabanya tubuh saudara satu-satunya itu. Suara desis kencang menghampiri telinganya. Seekor ular kobra sedang berlagak angkuh dengan lehernya yang tegak di sudut ruang tempat adiknya terkulai. Diambilnya sapu lidi, dan diusirnya ular itu. Lalu sang ular keluar melalui celah lubang pada dinding rumah mereka. Nuh ingin menangis, ingin sekali. Tapi nalurinya sebagai seorang kakak dan seorang ‘laki-laki’ membuatnya tegar. Nuh menggendong adiknya keluar dan berteriak minta tolong. Seorang tetangganya yang sedang menyabit rumput mendengar suara Nuh dan bergegas menolongnya, membawa si gadis ke rumah sakit dengan menitipkannya pada angkot yang melintas di jalanan dekat pemukiman mereka. Pemukiman itu memang tak terlalu jauh dengan jalan.
Pondok tua Nuh berada di sebuah pemukiman kecil. Tak jauh dari tempat itu ada bangunan-bangunan yang belum jadi, sebuah perumahan yang gagal dibangun, entah terbentur biaya atau karena persoalan sengketa tanah. Perumahan setengah jadi itu kini hanyalah tanah gersang yang banyak ditumbuhi ilalang. Anak-anak kampung  Nuh sering bermain sepak bola di tanah yang sebenarnya tidak terlalu luas itu.
Aisyah memang berhasil diselamatkan. Untungnya, Nuh mengantarnya  ke rumah sakit tepat waktu. Bila tidak, entahlah apa yag terjadi. Kini tinggal masalah biaya. Apa yang anak sekecil Nuh ketahui tentang biaya rumah sakit untuk membayar pengobatan adiknya ? Darimana ia harus mendapatkan rupiah-rupiah itu ?
Ya, Kong Ucup. Mungkin lelaki tua baik hati itu mau membantunya. Ia akan meminjam uang pada  Kong Ucup dan sebagai gantinya, ia akan meminta Kong Ucup memotong upah bekerjanya meski entah sampai kapan hutangnya bisa terlunasi. Ia bergegas menuju rumah Kong Ucup dengan penuh harap. Tapi mungkin, Tuhan sedang mengujinya. Ujian yang begitu berat, yang harus ia hadapi. Ujian yang membuatnya lebih dewasa, kedewasaan dini yang tidak seharusnya ia alami. Pagi hari ketika mentari belum jauh beranjak dari persembunyiannya, Nuh pergi ke rumah Kong Ucup. Rumah Kong Ucup ramai sekali. Kata salah seorang tetangganya, Kong Ucup meninggal karena serangan jantung karena kaget melihat istrinya tersengat listrik saat ingin menghidupkan lampu kamar selepas mengambil air wudhu. Tragis memang. Keluarga baik hati itu harus pergi untuk selama-lamanya. Dan saat itu, untuk pertama kalinya Nuh menangis. Air mata di sudut matanya itu tak mampu bertahan disana. Nuh pergi ke padang ilalang gersang di dekat rumahnya. Di sebuah batu besar, ia duduk. Tak mengerti perasaan yang menyusup ke hatinya. Dimana ayahnya sekarang ?
            “ Ibu....” rintihnya
Ilalang-ilalang di sampingnya seakan ikut iba. Tangkainya yang panjang bergoyang tertiup angin dan beberapa menunduk.  Kembang ilalang itu beterbangan. Bulu-bulu putih nan ringan itu menyentuh lengannya yang kurus. Halus, seakan ada sentuhan lembut yang berusaha menghiburnya. Di balik daunnya yang tajam, kembang ilalang itu memiliki bunga yang sangat lembut. Nuh tersenyum. Badai ini pasti akan segera berakhir. Ia tahu doa-doa yang diajarkan ibunya tidak akan pernah dilupakan Sang Maha Kuasa. Tuhan pasti medengarnya. Amanah ibunda untuk menjaga adiknya itu memberinya kekuatan baru. Ia lalu bangkit. Nuh tahu kemana ia harus melangkah. Ia akan pergi mencari ayahnya. Nuh tahu dimana ayahnya berada. Rumah tua di dekat jembatan Kali Jajali, disitulah orang-orang sering melihat sang Ayah. Bagaimanapun juga, ayahnya harus bertanggung jawab atas semua ini. Tapi sayang sekali. Kaki mungilnya tersandung bekas pondasi sebuah rumah saat ia hendak melangkah. Ia terjerembab dan kepalanya terbentur tumpukan batu bata di sebelahnya. Tubuhnya terkapar. Tidak ada orang di sekitar tempat itu.
“ Ibu.........” lidahnya kelu
Ia merasa damai sekali berbaring diatas rumput-rumput itu meski ia merasakan rasa sakit yang amat mendera tubuhnya. Lalu kedua bola matanya terpejam.....
*
Ketika gelap mulai merayap, ketika itu pula Nuh terbangun. Dirabanya keningnya yang luka. Darah yang mengalir di keningnya sudah mengering. Tiba-tiba ia teringat akan adiknya, akan ayahnya. Tak beberapa lama suara adzan berkumandang di masjid yang tak jauh dari bekas pemukiman itu. Dulu, Nuh sering sekali menjadi muadzin ketika ibunya masih hidup. Tapi, semenjak ia harus mengurusnya adiknya sendiri, ia jadi jarang berjamaah di masjid. Ia biasa shalat dirumah dan berjamaah dengan Aisyah.
            Dengan penuh keputusasaan, rasa lelah dan tak tahu apa yang harus ia lakukan, Nuh menginjakkan kakinya di halaman masjid itu. Bajunya kotor, bagaimana dia bisa melakukan shalat dengan pakain sekotor itu. Ia duduk di teras masjid. Seorang marbot menghampirinya dan memberikan dia sepotong baju koko dan sarung.
            “ Ayo kita shalat,” katanya sembari tersenyum
Laki-laki setengah abad itu ternyata tahu benar apa yang Nuh butuhkan. Di dalam rumah yang memberikan kedamain itu ia bersimpuh. Beberapa ayat suci al-qur’an terlantun lirih di bibirnya. Saat tak ada lagi yang mampu membuatnya bertahan, tak ada lagi yang bisa menguatkannya, Tuhan adalah tempat kembali yang paling baik. Nuh menengadahkan tangannya. Ia hanya meminta agar Allah memberinya sedikit rezeki untuk membiayai pengobatan adik satu-satunya. Seorang marbot yang memberinya pinjaman koko itu tersentuh melihat Nuh yang menangis. Lalu Nuh bercerita kepada laki-laki yang dulu sempat menjadi tetangganya itu. Nuh memanggilnya Pak Ali. Pak Ali berkata agar Nuh datang lagi besok untuk membantunya membersihkan masjid.
            Hari sudah malam. Nuh bingung apakah ia harus melanjutkan mencari ayahnya atau kembali ke rumah sakit tanpa membawa apapun. Namun di hatinya tersirat satu harapan. Kata-kata Pak Ali membuatnya lebih bersemangat. Meski ia belum makan, ia merasa telah kenyang. Cacing-cacing di perutnya yang mengeluh lapar sedari tadi, tak sedikitpun ia gubris. Bagaimana pun, kesembuhan adiknya adalah hal yang paling penting diatas segala hal, karena Aisyah adalah harta satu-satunya yang ia miliki. Adiknya itulah yang mampu membuatnya bertahan sampai sekarang.
            Nuh melangkahkan kakinya keluar masjid. Tak sengaja ia melihat seorang gadis tergesa-gesa mengenakan sepatunya selepas shalat. Gadis itu mengeluarkan handphone dari alam tas dan ia tidak sadar bahwa sebuah benda kecil jatuh dari tasnya. Nuh mendekat, namun gadis itu sepertinya sedang terburu-buru dan tidak mempedulikan panggilan Nuh atau bahkan ia tidak mendengarnya. Percuma saja Nuh berlari. Kakinya yang kecil tak seimbang dengan kecepatan mesin beroda dua itu.
            Keesokan harinya Nuh datang lagi ke masjid itu untuk membersihkan masjid seperti kata Pak Ali. Berapa pun rupiah yang ia dapat, itu akan membuatnya sangat bersyukur. Setidaknya ia sudah berusaha dan melakukan apa yang ia bisa lakukan saat itu.
            Jam dinding bulat pemberian salah satu jamaah setia masjid yang tertempel megah di dinding sudah meninjukkan waktu menunaikan shalat duhur. Rasa rindu untuk melantunkan asma sang Khalik membuatnya bergegas ke dalam dan menyerukan adzan. Baginya tak ada yang lebih indah selain mengingatkan para muslim untuk bersama-sama datang ke panggilan Tuhannya.
Lagi-lagi ia melihat gadis cantik berkerudung itu datang. Namun kali ini ia terlihat sibuk mencari-cari sesuatu. Nuh teringat akan benda kecil yang ia temukan semalam.
            “ Kakak, apa Kakak sedang mencari benda ini?” tanya Nuh dengan hormat
            “ Subhanallah..iya dek. Ini flash disk Kakak. Di dalamnya ada penelitian kakak. Benda ini sangat penting buat kakak. Kamu nemu ini dimana?” seru gadis itu
            Matanya yang bulat terlihat bercahaya.
Nuh menunjuk tempat jatuhnya benda itu. Sang gadis yang ternyata adalah seorang mahasiswa itu mengajaknya ke minimarket untuk membelikannya es krim. Namun Nuh menolak karena ia belum menyelesaikan tugasnya.
*
            Janji Allah tak pernah salah. Ada kebahagiaan yang amat besar atas balasan kesabaran Nuh. Ia kini bisa bersekolah kembali, begitu pula adiknya. Kakak yang ia tolong dahulu kini telah menjadi kakak angkatnya. Kak Farrah sangat berterima kasih karena Nuh menjaga benda yang sangat berarti untuknya. Saat ia hendak pulang malam itu, tasnya dirampok oleh sekerumunan orang sehingga laptop dan semua yang ada di dalam tas itu hilang. Padahal Kak Farrah sedang menyusun skripsi tentang analisis vegetasi dan biomassa tumbuhan ilalang yang tumbuh di tanah gersang dekat rumah Nuh dan semua bahannya ada di laptop. Beruntung ia sempat menggandakan softcopy-nya dan memasukkan ke flash disk yang Nuh temukan. Lalu ia meminta ayahnya yang termasuk “orang ternama” di kota itu untuk mengangkat Nuh dan adiknya sebagai anaknya karena Kak Farrah sendiri hanya anak tunggal dan tidak lagi memiliki ibu. Segala yang manusia capai tergantung bagaimana usahanya. Seperti Nuh, sebuah nama yang diberi oleh wanita yang juga penyabar, agar anak laki-lakinya itu tumbuh menjadi pemuda yang sabar dan kuat. Nuh sangat beruntung karena ia bertemu dengan orang sebaik Kak Farrah. Sebelum ia tinggal bersama Kak Farrah ia sempat berkunjung ke makam Kong Ucup dan istrinya yang dulu selalu membantunya dan berjasa dalam hidupnya. Ia berdoa agar ibunya, Kong Ucup dan istrinya itu mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Tuhan atas kebaikan selama hidupnya.
Selesai





Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPS MENANG LOMBA FOTO INSTAGRAM

Kisah pkl (Tulisan ini telah dipublikasikan di laman web National Geographic Indonesia sebagai kompetisi cerita “Travel Mate” yang diadakan oleh NatGeo Indonesia)