cerpen ini kemarin diikutkan di lomba Hutanta dengan tema Saat Hati Berbicara, cuman karena kurang jumlah likersnya yaaah gak masuk nominasi daah..hahaha

PULANG

Another summer day has come and gone away in Paris and Rome
I want to  go home..hmm....
Maybe surrounded by a million people I still feel all alone
I just want to go home, I miss you, you know
            Suara Shane dan Mark berganti-gantian mengisi gendang telingaku selama perjalanan. Lagu Home yang dinyanyikan oleh boyband favoritku itu sudah berulang kali terputar dalam playlist bersama lagu Westlife lainnya. Jika headset-ku itu laki-laki-dan bisa berbicara tentu ia akan menggerutu dan menyuruhku mengganti lagu dengan penyanyi wanita. Sayang, headset hanyalah benda mati yang diciptakan oleh pembuatnya untuk membantu sang pemakai dalam aksi tidur bohong-bohongannya dalam kereta agar tempat duduknya tidak diminta oleh ibu-ibu hamil dan orang tua dengan wajah memelas mereka, atau mungkin dulunya si pembuat headset ini adalah mahasiswa pemalas yang hanya sekedar titip absen atau datang di kelas lalu duduk di kursi paling belakang dan berpura-pura memasang tampang sok memperhatikan padahal tangan dan telinganya sibuk menyetel lagu yang sedang hits-hitsnya. Nah, karena takut terlalu kencang jika menggunakan speaker maka diciptakanlah headset ini. Atau.. bisa juga ada tujuan jahat dalam penciptaan headset ini, agar orang-orang sepertiku meneteskan air mata dengan mendengarkan lagu kesayangan dan mengingat lagi kenangan-kenangan yang mengharu biru ! Yah, tak usah berburu sangka lah.. Toh dengan headset ini aku juga bisa lelap tertidur-lebih tepatnya kabur dari laki-laki disampingku yang sedari tadi mengajak ngobrol dan meminta nomor hape!
            Pulang. Satu kata yang selalu menggangu pikiranku belakangan ini. Menatap kalender duduk yang aja di meja, meraihnya, lalu mengamati angka-angka yang tercetak dengan tinta merah. Memandang lekat, membolak-balikkan kertas kalender, mencari-cari. Hal ini kulakukan setidaknya dua kali dalam dua miggu terakhir. Dan, dengan berbekal rasa rindu itu pun akhirnya aku membeli tiket bus ini. Bapak dan Ibu kangen banget, Nduk. Beberapa huruf itu nyatanya mampu menyihirku untuk pulang, kembali. Tak apalah, membolos kuliah satu hari tidak akan dilarang mengikuti ujian akhir kok. Ambil jatah, begitu kata teman-teman.
            Sebenarnya, bisa saja aku memesan tiket kereta agar lebih cepat sampai. Tapi entah mengapa, aku lebih menyukai perjalanan dengan armada roda empat ini. Meski harus terima tidur tidak nyeyak karena menghindari tidur di ‘bahu’orang lain dan menahan mual karena jalan yang berliku, nyatanya bus ini selalu menjadi pilihan pulangku. Duduk di dekat jendela, mengamati lingkungan sekitar. Melihat-lihat keluar, lalu lintas ibukota yang ramai, penjual aneka macam makanan, es cendol durian, buah-buahan yang terbungkus rapi dalam plastik wrap, dan bahkan aku bisa leluasa memandang penjual duku itu. Penjual duku yang tertidur disamping gerobagnya yang diparkir di pinggir jalan, yang terbangun karena ada ibu-ibu gendut menanyakan harga dukunya. Lalu aku tertawa kecil, ibu itu tak jadi membeli, dan penjual duku itu pun tidur lagi. Pada musim-musim tertentu gerobag-gerobag di pinggir jalan itu akan menjamur. Orang yang tadinya berjualan mangga, pada musim duku atau musim rambutan pun akan mengganti dagangannya dan memasang tulisan dengan huruf terpampang besar. Berlomba-lomba menggoda pembeli untuk mampir di kios berjalannya.  Sembilan ribu per kilo.
            Lihatlah.... di pemberhentian lampu merah ini banyak sekali anak-anak kecil yang meminta-minta. Ibu-ibu yang menabuh gendang mengharap recehan terisi dalam toples usangnya, meski terkadang orang yang baik hati pun tega melemparkan uang logam itu semena-mena , laki-laki dan monyetnya yang kurus yang dipaksa bergaya ala ibu-ibu yang sedang berbelanja, wanita setengah baya dengan kerudung namun kaosnya lengan pendek yang menawarkan minuman segar dengan harga diatas rata-rata, pemuda penjual mainan anak-anak yang mondar-mandir menghampiri mobil-mobil mewah yang patuh menaati lampu merah, pengamen dengan gitar bayinya yang beberapa senarnya sudah putus, atau penjaja koran itu. Sungguh, sungguh banyak sekali bagian kehidupan ini yang aku tak tahu!
Anak-anak itu tentu ingin sekali bersekolah, melanjutkan impian-impian mereka yang tertunda karena keterbatasan. Memakai kembali seragam merah-putih mereka dengan senyum bangga selepas mencium tangan kedua orantuanya. Tapi, bagaimana dengan pemuda-pemuda tadi yang hampir melukaiku ? Pemuda-pemuda tanggung yang seharusnya belajar rajin memikirkan masa depan bangsa, masih dengan seragam putih-abunya, saling melempar batu, menyerang satu sama lain menggunakan benda  apa saja yang ada di sekitar mereka. Bahkan hantaman ikat pinggang itu hampir saja mengenai kepalaku tadi. Tawuran. Entah apa yang menyebabkan pemuda-pemuda itu nekad menggadaikan masa depannya dengan berkelahi, saling menyakiti. Tak ingatkah mereka dengan kata-kata orang tua mereka untuk tekun menimba ilmu ? Berharap anak-anaknya tumbuh menjadi orang yang sukses, yang mampu mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Meski orangtua mereka rela kaki mereka menjadi kepala, kepala menjadi kaki* demi melihat anaknya melek huruf. Apakah pemuda-pemuda tadi setega itu membuang uang hasil kerja keras orangtua mereka dengan percuma ? Tak tahu kah mereka dengan doa-doa yang selalu orangtua mereka panjatkan di sepertiga malam terakhir dalam sujud khusu’ itu ? Tak pernah kah mereka diajari di sekolah bagaimana cara menghormati orangtua ? Tentu tidak karena waktu belajar mereka dibuang dengan sangat sia-sia ! Ah, seandainya bisa, ingin sekali aku mengucapkan kata-kata tadi pada mereka. Tapi apa gunanya, kami bagaikan hidup di buku yang berbeda, meski masih dalam perpustakaan yang sama, pemilik yang sama, namun buku yang satu dan yang lain tak pernah saling mengenal.
Melalui jendela bus ini pula hatiku mengajak berbicara. Berbicara melalui perasaan yang menyelinap tiba-tiba bersamaan dengan otakku yang memutar kembali memori-memori yang sudah tersimpan rapi, terkunci. Laki-laki itu, apa kabar dia ? Masih ingatkah dia dengan impian kami dulu ? Saat dia dan aku berada di bus yang sama untuk kembali ke kampung halaman. Tak tega melihat wajahku yang sedih melihat kehidupan jalanan, ia menghiburku dengan kalimat yang selalu kuingat.
“ Nanti ya, kita sediakan ruangan khusus di rumah kita untuk membeli dagangan-dagangan mereka. Lalu kita bagi-bagikan ke orang-orang terdekat “
Bagaimana aku tidak ingat dengan suara lembut itu ? Tatapan teduhnya, sorot matanya yang tajam namun menenangkan, dan senyum yang selalu bisa menghapus setiap duka yang mencoba mendekat. Mimpi-mimpi itu, aku jelas masih mengingatnya. Tunas-tunas cinta itu tumbuh karena memang aku yang memberikannya ruang untuk tumbuh. Menyediakan celah yang tak nampak. Seperti kata dosenku saat menjelaskan mata kuliah Pembukaan Wilayah Hutan, pada bagian beban lalu lintas, ada biji yang tumbuh menjadi pohon ditengah jalan karena tanahnya yang kurang padat dan masih tersedianya pori-pori untuk tumbuh. Kesempatan. Ya, karena aku memberinya satu kesempatan untuk datang, kembali.
            Lagu ini, bukankah lagu yang kudengar sekarang pernah kunyanyikan untuknya di dalam bus dulu ? More than words, lagu kesukaanku. Masih ingatkah ia ? Mengapa dunia seakan bersekongkol untuk membuatku bersedih. Dua tahun begitu cepat berlalu, tak ada sela untuk menunggu, tak ada spasi untuk kembali. Mungkin, perlu kecepatan melebihi kecepatan cahaya untuk mengejar waktu. Atau mungkin lebih cepat lagi ?
            Pandanganku kini berganti ke jalan lurus nan rindang. Sudah masuk jalan bebas hambatan, tak ada lagi kendaraan roda dua. Di sepanjang jalan, pohon-pohon bintaro yang buahnya selalu berpasangan membentuk tajuk bulat yang sambung menyambung indah. Pohon dengan bunga berbentuk kupu-kupu juga tak asing lagi menghias pinggiran jalan bersama bunga merak dengan corak merah dan kuningnya yang mempesona. Indah sekali. Indah sekali ciptaan Tuhan ini. Langit yang biru di siang hari, gelap di malam hari, berapa jaraknya dengan tanah yang seringkali kupijak ? Pasti Tuhan sudah merancangnya dengan rumus matematika atau fisika atau rumus apalah sehingga semuanya seimbang dan sempurna. Awan-awan yang bergerak lamban, burung yang berterbangan, angin yang berubah jadi topan,Tuhan pasti sudah memperhitungkan semuanya dengan penjelasan yang rumit. Terkadang manusia bisa mengerti dengan ilmu-ilmu yang mereka kembangkan, beberapa juga dijelaskan dalam kitab suci,  namun ada juga kuasa Tuhan yang memang manusia tak pernah mengerti apa maksudnya. Karena Tuhan tahu manusia tak akan pernah sampai pada ilmu itu disebabkan kapasitas otaknya, kemampuan berpikirnya tak akan pernah bisa menjangkau. Ada bagian yang memang disembunyikan, rahasia langit.
            Perjalanan pulang memang menjadi saat yang tepat untuk merenungkan banyak hal. Betapa aku harus sangat bersyukur kepada Tuhan karena melahirkanku di keluarga ini. Keluarga sederhana yang selalu kurindukan di perantauan. Tak percaya dengan takdir ? Mau menjadi Fir’aun yang mati sia-sia ditengah lautan akibat kesombongannya ? Tak pernah sadar jika manusia tak ada apa-apanya dibanding kuasa Tuhan ? Lihatlah kuasa Tuhan pada Bapak dan Ibu. Bapak yang berwatak keras dan egois ini dijodohkan dengan ibu yang super lembut dan ekstra sabar. Meskipun mereka sering bertengkar, namun keduanya selalu baikan dan cinta yang sangat besar jelas terpancar dari keduanya. Ah, rasanya ingin cepat-cepat pulang dan memeluk mereka. Juga bertemu adikku satu-satunya yang selalu menghabiskan sisa (snack) yang kubawa sebagai bekal pulang, mencubit pipinya yang tembem.
            Bapak, masih sibuk ‘kah dengan mengurus burung-burung peliharaannya yang terlampau banyak ? Masih keras kah nada suaranya ? Masih berkharisma kah senyumannya ? Tapi kurasa, tubuhnya sudah tak setegap dulu lagi, kerut diwajahnya sudah merenggut sedikit kegagahan dan ketampanan masa mudanya. Sebentar lagi umurnya menginjak angka lima puluh dua. Untuk itu pula aku rela bersusah payah mencari tiket pulang di sela kesibukan dan laporan yang menumpuk ini, untuk bertemu beliau, bertemu ibu dan adikku. Sebentar lagi, beberapa menit lagi aku akan bertemu mereka, saling mengucap rindu.
            Kali ini aku sengaja tidak minta dijemput karena aku ingin memberi kejutan. Aku juga tak ingin menggangu Bapak yang sekarang jelas sedang di mushola menunggu subuh bersama jamaah lainnya. Dan, saat bus berhenti, setelah mengucap terimakasih pada sang supir aku pun bergegas lari. Tak sabar menemui mereka. Mencium pipi kanan-kiri ibu, memeluk beliau erat.
            Ibu membuka pintu dan terlihat kaget dengan wajah beliau yang terlihat menahan kantuk. Sambil menghidupkan lampu, tangannya yang lain meraih pundakku.
“ Aku kangen ibu... “
“ Ibu juga kangen, Nduk. Kangen banget malah, “
Lagi-lagi ada skenario Tuhan yang harus kujalani dengan ikhlas. Mataku yang juga masih mengantuk ini tiba-tiba tertahan pada sebuah kertas hijau bersampul rapi yang tergeletak di sofa. Aku mengenalnya, aku mengenal sosok laki-laki dalam foto itu. Tapi siapa gadis disampingnya ? Bukankah ini..... bukankah ini undangan pernikahan ? Undangan pernikahan yang desainnya sangat kuinginkan untuk pernikahanku nanti ? Kertas hijau muda dengan pita putih berpilin pada bagian sampulnya ? foto pra-wedd dengan latar belakang Alun-alun surya Kencana ? Dengan gemetar kuraih kertas tebal itu. Aku menatap ibu dengan nanar, beliau memelukku semakin erat. Ibu, bukankah dia pernah berjanji padaku untuk kembali ? Aku sangat menyayanginya ibu. Aku hanya berusaha untuk menjadi anak baik yang taat pada aturan, selama ini aku tak pernah pergi, aku memperbaiki diri, Ibu. Memantaskan diri, seperti kata-katamu. Tapi mengapa Tuhan memberi ending seperti ini ? Apa ini juga bagian dari rahasia langit ? Pelukan ini tak lagi hanya sekedar pelukan rindu, tapi dua hati yang sedang berbicara,tubuh yang pernah menjadi satu bagian yang sama. Seperti janin yang mendapatkan asupan makanan melalui tali pusar bundanya. Sedari dulu, sebelum terlahir di dunia, Ibu pasti lebih tahu apa yang dirasakan anaknya bahkan di bagian yang paling tersembunyi sekali pun. Ibu, aku mencintainya.
 Sekian
Catatan :
* kaki menjadi kepala, kepala menjadi kaki, merupakan pepatah Jawa yang berarti orangtua akan berusaha sekeras apapun untuk kebahagiaan anaknya meski harus mengorbankan dirinya sendiri.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPS MENANG LOMBA FOTO INSTAGRAM

Kembang Ilalang di Padang Gersang

Kisah pkl (Tulisan ini telah dipublikasikan di laman web National Geographic Indonesia sebagai kompetisi cerita “Travel Mate” yang diadakan oleh NatGeo Indonesia)