Sepotong Pelangi di dalam Toples Kaca

Ini cerpen yang bertema-kan bulan ramadhan, pernah diikutsertakan dalam lomba poster&cerpen amatir untuk pemula, Agustus 2012
Sepotong Pelangi di dalam Toples Kaca

Meski aku hanya duduk dan menunggu saja di dalam kereta, pegal juga badanku ini. Kereta api Senja Utama yang kunaiki dari Pasar Senen akhirnya tiba juga di kota kelahiranku, Jogjakarta sekitar pukul lima pagi. Dengan membawa satu koper berukuran kecil dan sebuah daypack yang melekat erat di punggung, kuayunkan kaki untuk melangkah keluar stasiun. Sampai juga aku di kampung halaman tercinta. Masih kuingat kemarin siang saat aku dan seorang kawanku berjejal-jejal bersama penumpang lainnya di dalam sebuah komuterline jurusan Bogor-Jakara untuk sampai di
stasiun Pasar Senen. Rutenya memang lebih sulit jika ingin pulang dengan kereta. Aku biasa menaiki bus untuk sampai ke tempat tujuan, meski dengan sedikit mabuk perjalanan. Jika ingin naik bus, tak perlu susah-susah. Cukup dua kali naik angkot dari kampus, lalu turun di terminal Baranangsiang, selanjutnya duduklah dengan tenang dan tunggulah bus yang kau naiki akan meluncur di jalan raya dengan gesitnya. Lain lagi ceritanya jika kau naik kereta api. Aku pernah sekali ikut dengan kereta ekonomi Progo. Waw ! sensasinya, luar biasa. Setiap berhenti di stasiun, para pedagang asongan akan berebut menjajakan dagangannya. Ada penjual nasi bungkus, serbet, telur asin, boneka-yang biasa dijual sepuluh ribu dapat tiga, penjual mie instant, banyak yang lain. Dan satu kalimat yang selalu kuingat ketika terbayang kereta api. “mie..popmi..kopi...”
            “ Becak’e, mbak,” seorang tukang becak menawariku menjadi penumpang kendaraan roda tiganya
            “ Ngojek mawon, mbak. Mandhap pundi ?” laki-laki umur tiga puluh-an dengan jaket kulit hitam menimpali
Kutolak dengan halus tawaran mereka. Seseorang telah berjanji menjemputku di stasiun ini.
*
            “  Ya itu salahnya kowe. Sudah dikandhani jangan terlalu percaya sama pegawai, kok ya semuanya diserahin ke dia. Sekarang udah tau rasa, tho ?”
Sudah kuduga suara keras itu akan menyambut kepulanganku pagi ini. Kulihat dari air mukanya, aku sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi. Lagi-lagi bapak dan ibu ribut. Ah, sudah biasa. Bapak memang selalu mempermasalahkan hal kecil. Sedikit-sedikit, marah. Setiap hari, ada saja yang menjadi bahan cemoohnya. Entah itu karena memang salah kami, atau karena salahnya sendiri. Dan bapak sangat egois, tak pernah ia mau belajar mendengarkan pendapat orang lain. Tak pernah dihiraukannya nasehat ibu untuk berubah. Namun inilah hebatnya garis jodoh yang Tuhan takdirkan. Seorang yang egois, angkuh dan selalu menang sendiri, mendapat seorang wanita yang begitu sabar, lembut, dan dewasa, Ibu. Ya, masalah kali ini adalah karena cake shop kami kecurian. Seorang pegawai pocokan diduga telah mengambil uang dari hasil penjualan kue di toko kami.
Menjelang lebaran, ibu biasa menambah pegawainya untuk membantu melayani pembeli di toko. Pegawai tambahan itu ada dua orang dan bekerja hanya sekitar satu bulanan, sampai hari raya, dan mereka itulah yang kami sebut ‘pocokan’atau pegawai tidak tetap.
            Cucak ijo peliharaan bapak terlihat bosan mendengar omelan bapak. Jangkrik yang bapak lemparkan ke kandangnya dibiarkan saja melarikan diri. Burung-burung yang lain sinis saja melihat adegan ribut-ribut itu. Mas Arif menyuruhku masuk dan istirahat. Kakakku satu-satunya ini juga mewarisi sifat ibu, sabar. Jika kami berdebat, dialah yang jadi penengah. Beda denganku, aku selalu melawan ketika bapak bicara. Bukan melawan dalam artian aku membantah, tapi aku mencoba menjelaskan duduk perkaranya, membela diri kalau aku tidak bersalah. Walaupun, semua keteranganku tak akan digubrisnya sama sekali. Dan bahkan, bapak sering mengancam ingin menamparku jika aku berani menyahut satu kata lagi. Setidaknya itu kejadian yang selalu terjadi saat aku masih SMA dulu.
Aku masih ingat ketika sebuah tamparan mendarat di pipiku tiga tahun lalu. Memang itu mungkin salahku karena tidak menurut pada bapak. Waktu itu aku masih menjadi seorang siswa sekolah menengah atas dengan seragam putih abu-abu yang identik dengan kelabilan. Kelasku adalah kelas pembuat kegaduhan, pencipta keramaian, juga kelas yang  rata-rata nilai semesteran kelasnya tertinggi diantara kelas lain. Kami suka sekali mengadakan touring, tapi touring dengan sepeda motor. Di memori otakku, masih terbayang mata bapak yang redup kian membulat dan memerah karena memarahiku. Ya, karena aku memaksa untuk ikut touring sementara bapak melarang karena berbahaya. Satu kalimat yang  membuat bapak semarah itu, yaitu ketika aku bilang bahwa bapak terlalu mengekangku, over protective dan tidak memberiku sebuah kebebasan. Malam itu aku menangis sampai pagi hingga aku tak berani ke sekolah keesokan harinya. Aku dan bapak tidak saling berbicara selama tiga hari sebelum akhirnya aku meminta maaf.
Mataku terasa lembab, ada setitik air mata yang memberontak ingin keluar dari ruangnya. Begitu banyak pertengkaran yang terjadi antara kami berdua. Dulu aku sangat ingin berpisah dengan kedua orangtuaku, itu sebabnya aku mencoba untuk merantau, memburu ilmu sampai jarak yang beradius ratusan kilometer dari kota kelahiranku ini. Tapi ternyata rasa rindu itu selalu menyeruak dalam kalbuku ketika kami berjauhan. Ada setangkup haru jika mengingat betapa banyak pengorbanan Bapak dan Ibu. Ah, rasanya aku sudah menjadi anak yang durhaka.
Malam ini adalah ramadhan ketiga dan begitu istimewa karena aku dapat berkumpul dengan keluargaku. Hari pertama dan kedua menginjak bulan puasa, aku masih berada di Kota Hujan, kota tempatku menuntut ilmu.
Mushola di samping rumahku masih terlihat penuh jamaahnya. Ibu-ibu yang baru datang mengajakku bersalaman seperti biasa. Bentangan sajadah yang bercorak khas dan berwana-warni itu semakin membuat mushola itu semarak. Ada yang bermotif masjid, ka’bah dan juga ukir-ukiran lain. Beberapa ibu muda yang membawa anak-anaknya yang masih balita mengambil posisi di shaf paling belakang. Anak-anak kecil itu biasa berteriak dan menjerit-jerit bergurau dengan anak seusianya saat shalat tarawih berlangsung. Benar saja, baru dua rakaa’at jalan, seorang anak laki-laki menangis karena mainan mobil-mobilannya direbut oleh temannya yang juga mengingnkan benda yang sama. Ada juga seorang pemuda autis berusia sekitar dua puluh-an tahun yang selalu mendahului gerakan imam di saat shalat. Lucunya lagi, setiap kami sedang shalat pemuda yang kerap dipanggil Samin itu, sering bikin heboh. Ia bisa saja menendang jamaah lain yang berada disampingnya, menepuk-nepuk nyamuk yang padahal tidak ada, atau membenarkan pecinya yang sebenarnya baik-baik saja posisinya. Tempat shalat wanita dan pria hanya dibatasi oleh selembar kain hijau yang membentang dari satu sisi dinding dengan satu sisi lain yang berhadapan di seberangnya. Itu sebabnya aku tidak pernah mau shalat di barisan paling depan karena ulah si Samin bisa membuat orang yang sedang khusuk shalat, batal shalatnya karena tertawa.
Langit masih menampakkan keramahannya dengan hadirnya bintang yang ikut menyambut datangnya bulan suci. Gugusan bintang men-sketsakan sebuah pola unik yang tak mungkin bisa diukir tangan manusia. Purnama yang hanya nampak separuh menyembunyikan eloknya dibalik bayang-bayang mega. Bocah-bocah kecil menggandeng bundanya dengan masih mengenakan mukena. Cantik sekali. Anak-anak perempuan itu sudah diajari oleh orangtua mereka untuk menutup auratnya semenjak kecil. Beberapa anak laki-laki yang masih duduk di bangku smp-sma memberikan ‘jaburan’ kepada para jamaah seusai shalat tarawih berjamaah. Sayang sekali, bapak tidak hadir. Bapak hanya datang di malam pertama dan terakhir bulan ramadhan. Itu salah satu sifat kekanak-kanakan bapak. Hanya karena ada masalah dengan seorang tetangga kami, ia tidak pernah lagi datang ke mushola. Dulu, shalat magrib, isya dan subuh berjamaah, bapak tak pernah absen. Namun kini ia jarang sekali ke mushola. Di saat kami shalat tarawih, bapak biasa duduk di depan laptop dan mendengarkan pengajian lewat situs favoritnya. Soal tadarus, jangan ditanya. Setelah shalat ashar,bapak selalu mengaji sampai waktu berbuka. Sehabis sahur pun begitu.
“ Nduk, pijiti Bapak kene,” baru saja  aku melepas mukenaku dan beranjak ke kamar selepas shalat tarawih, Bapak sudah memanggilku untuk memijitnya.
Tanpa banyak kata, aku beringsut mendekati Bapak dan kuraih bahunya. Bapak pasti lelah. Tapi aku terlalu gengsi hanya untuk sekedar menyapa atau berkata : ‘ Bapak capek, ya?’
            “Gimana sekolahmu ? Lancar, tho ?” beliau nampak menikmati pijitanku
            “ Alhamdulillah, Pak. Lancar,” jawabku seadanya
            “ Beasiswa udah dapet ?”
            “ Dhereng, Pak. Masih usaha,”
Bapak balik badan dan menyorotiku dengan tatapannya yang tajam. Lama juga bapak memandangku.
            “ Kowe iki, nyari beasiswa aja nggak becus. Ngapain jauh-jauh sekolah kalo gak bisa sekolah gratis. Itu si Puput anaknya Pak Warso temen Bapak aja dapat beasiswa. Kamu kok nggak bisa lah..lah, Lastri, Lastri “ nada bicaranya yang memang keras terkesan menyalahkanku. Raut muka bapak dengan kumis tebalnya yang membuat ibu tertarik karena gagahnya, di mataku terlihat menyeramkan. Lagi-lagi aku dimarahi karena tidak bisa mendapat beasiwa, padahal selama ini aku juga selalu mendaftar jika ada pembukaan beasiswa di kampusku.
            “ Aku ya sudah nyari, Pak. Tapi emang belum beruntung aja, belum rejekinya kok. Kalau memang sudah rejekinya ya insya Allah bisa,” ujarku membela diri
            “ Alah, banyak alesan. Emang dasarnya aja kamu yang males, bodho ,”
Kali ini aku tak bisa terima dengan ucapan bapak. Aku ingin menangis karena jengkel, lalu aku pergi saja ke kamar. Selama ini aku juga selalu berusaha. Indeks prestasiku juga termasuk bagus, dia atas tiga koma nol.
*
Menjelang sore saat matahari mulai beringsut ke tempatnya semula, sekitar jam empat, aku membantu ibu di cake shop kami. Kue-kue yang tertata apik di etalase itu jika dipandang terus menerus  akan membuat perut berdendang, menggiurkan sekali. Ada risole, kue bolu, bika ambon, ada juga kue jajanan pasar seperti nagasari, putu ayu, onde-onde, klepon. Cake shop kami juga menjual kue tart dan sejenisnya, dan yang sedang populer saat ini adalah red velvet dan rainbow cake. Red velvet dan rainbow cake, selalu habis sebelum magrib. Red velvet, si merah menggoda nan manis ini lumayan di senangi oleh kaum-kaum muda sepertiku. Ada juga yang membelikannya untuk kekasihnya, atau yang sedang pedekate juga sering memberi calonnya itu dengan sepotong red velvet. Sedangkan rainbow cake ialah  kue berwarna-warni yang pertama kali diciptakan oleh Kaitlin Flanerry, seorang gadis berkebangsaan Amerika Serikat yang awalnya ingin menghibur temannya dengan membuat kue berlapis yang terdiri dari berbagai macam warna pelangi. Rainbow cake ini peminatnya banyak, mulai dari yang tua sampai anak kecil sekalipun. Warnanya yang menarik perhatian dan rasanya yang lembut, membuat kue ini semakin happening.
Seorang laki-laki dengan seorang anak kecil di gendongannya mendekat ke toko kami. Sepeda untanya ia sandarkan ke tembok toko.
“ Pak, pingin yang ini,” telunjuk anak dalam gendongannya mengarah ke sebuah cup rainbow cake
“ Yang ini harganya berapa , Mbak ?” tanya si ayah
“ Dua puluh ribu, Pak” sahutku dengan ramah
Bapak itu mengeluarkan pecahan uang seribuan dari dalam kantung plastik hitam yang ia keluarkan dari saku celananya. Beberapa koin lima ratus rupiah juga ia hitung jumlahnya.
Ia berbisik,
            “ Le, uangnya buat beli makan buat buka nanti saja ya, rotinya besok lagi. Ini nggak cukup, besok pasti Bapak beliin,” meskipun berbisik, obrolan mereka masih bisa kudengar
Wajah si anak berubah cemberut, menggeleng-geleng kepala dan mengusap matanya yang ingin menangis. Si ayah berusaha menghibur putranya, lalu mendekat lagi ke toko    
            “ Kalau dipotong lebih kecil lagi nggak bisa ya, Mbak? Kalau beli dua ribu boleh nggak ?  Anak saya sudah dari kemarin pingin roti ini,”
Aku dan ibu saling bertatapan. Ibu tersenyum.
            “ Diambil saja Pak, kuenya. Kebetulan tinggal satu yang ini, biar buat putranya,”
Bapak itu mengucapkan banyak terimakasih dan mendoakan kami lewat ucapan-ucapannya. Raut kegembiraan juga tertoreh di wajah si anak, berseri-seri ia menerima cup kue dari kami. Si Bapak juga berjanji ingin mempromosikan toko kami, begitu katanya.
Aku dan ibu kembali ke rumah ketika adzan isya berkumandang. Bapak berada di ruang keluarga dengan wajahnya yang sudah bisa kutebak, pasti akan marah lagi. Kali ini karena tadi sore aku lupa menguras bak mandi sebelum pergi ke toko. Marah-marahlah ia. Dibentaknya aku, disuruhnya aku menguras bak mandi malam itu juga, namun ibu mencegahku. Rasanya aku sudah muak sekali dengan segala cercaan dan doa-doa yang buruk yang bapak keluarkan ketika memarahiku. Tapi tiba-tiba saja bapak berhenti berbicara. Suaranya seperti terhenti di kerongkongan. Urat-urat lehernya semakin jelas terlihat. Lalu bapak tak sadarkan diri.
*
Mataku berkaca-kaca. Ada perasaan janggal yang terpendam di dalam sana. Antara sedih, sebuah luka, dan secercah harapan yang berbaur menjadi satu. Tubuh yang tergeletak di depanku masih tertidur, pulas. Hanya jam dinding yang jarum detiknya bergerak cepat yang terlihat terpaksa menemaniku. Bapak terkena gejala stroke, begitu ungkap dokter. Selama ini bapak tak pernah mengidap penyakit seperti ini. Paling parah bapak hanya pusing atau flu, lalu minum obat yang dijual di warung, tidur, dan sembuhlah ia.
            Mata yang terkatup di depanku itu perlahan membuka. Mencoba mengamati dan melihat sekeliling, hingga tibalah bola mata itu ke arahku. Mulut bapak ternganga, namun terbata-bata ia mengucapkan beberapa patah kata, seperti anak kecil yang baru belajar mengeja. Tak kulihat lagi sorot tajam mata bapak ketika beliau berbicara padaku, pun dengan nada tingginya yang selalu membuat telingaku panas.
            Kini bapak hanya bisa duduk di kursi rodanya, dan aku mulai belajar memahami keinginan bapak melalui isyarat tangannya dan gerakan bibirnya. Bapak masih punya kesempatan untuk sembuh. Hari-hari liburku yang kuhabiskan dengan merawat Bapak membuatku memahami banyak hal. Ternyata bapak juga suka dengan kue, padahal selama ini bapak tak pernah sama sekali mencicipi kue di cake shop kami. Waktu itu aku bercerita tentang rainbow cake yang sedang hangat-hangatnya, dan bapak memintaku membuatkannya. Sepotong pelangi di dalam toples kaca, yang juga memberikan suatu kehangatan pada hubungan kami. Sama seperti sepotong pelangi indah yang kulihat dalam bola mata bapak yang memberikanku keteduhan yang tak pernah kudapatkan sebelumnya. Hubunganku dengan bapak yang dahulu renggang, kini membaik. Ternyata tak enak juga jika harus selalu berselisih paham dengan orangtua, adu mulut tiap hari, mendengar sumpah serapah yang tidak sepatutnya dikeluarkan dari mulut seorang ayah pada anaknya. Kini aku sadar, tak sepatutnya seorang anak berkelakuan buruk terhadap  orangtuanya, seburuk apapun sifat mereka. Apapun yang mereka lakukan, itulah yang terbaik untuk kita, mungkin hanya caranya saja yang salah. Seperti bapak yang menganggap aku ini masih hidup di jamannya, menetapkan aturan-aturan yang sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang. Perubahan itu terkadang perlu jika itu perubahan ke arah yang lebih baik.

Catatan :
1.      Jaburan : semacam jajanan yang dibagikan kepada para jamaah shalat tarawih seusai shalat yang isinya terdiri dari kue-kue dan camilan kecil
2.      Nduk   : sebuah panggilan yang diberikan kepada anak perempuan di Jawa
3.      Le = Thole : panggilan untuk anak laki-laki di Jawa

selesai


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPS MENANG LOMBA FOTO INSTAGRAM

Kembang Ilalang di Padang Gersang

Kisah pkl (Tulisan ini telah dipublikasikan di laman web National Geographic Indonesia sebagai kompetisi cerita “Travel Mate” yang diadakan oleh NatGeo Indonesia)