CERPEN-JEJAK MACARANGA
Jejak Macaranga
Disitulah kita kerja di sinar
matahari
Gunung lembah berduri haruslah kita
arungi dengan hati yang murni
Rimba raya.. Rimba raya.. indah
permai dan mulia
Mahataman tempat kita bekerja
Rimba raya.. Rimba raya.. indah
permai dan mulia
Mahataman tempat kita bekerja
Pagi petang siang malam rimba kita
berseru
Bersatulah bersatu tinggi rendah
jadi satu
Bertolongan selalu (1)
Nada-nada
tak beraturan merayap memenuhi aula. Desing suara sembarang berpadu dengan gema
yang samar. Meski bibir tak berhenti berucap, meski lidah dan berhenti beradu,
pikiran ini nyatanya tak disana. Siapa yang peduli dengan nyanyian ini, siapa
yang peduli dengan kebisingan yang hampir menyerupai pasar. Tangan-tangan itu
saling melekatkan, meraih bahu kawan disampingnya, merangkul penuh keharuan
sembari menyanyikan apa yang mereka sebut “Mars Rimbawan”.
Aku
hafal lagu ini, teramat hafal. Bagaimana tidak, selama pendidikan sepanjang
tiga hari ini, senior kami selalu memaksa, menyuruh kami menelan, menyatukannya
dengan hati dan badan. Mengingatnya dimana pun kami berada. Merenungkan setiap
baitnya, sampai meresap ke tulang-tulang. Bagaimana bisa Eyang menyuruhku masuk
fakultas ini. Bertemu dengan berbagai manusia aneh dari penjuru nusantara, yang
mengaku dalam hatinya ada cinta untuk Indonesia, ada janji berbakti untuk
menjaga negeri, menjaga kelestarian alam nan memukau. Oh, bukan. Mungkin ada
juga dari mereka yang menimba ilmu agar dapat mengeksploitasi kekayaan negeri
ini dengan cara yang lebih “bijak”, menghabiskan sumberdaya negara untuk
kesenangan semata. Entahlah. Dalamnya lautan, siapa yang tahu.
Hei,
aku tahu banyak dari kalian yang bernasib sepertiku. Aku bisa membaca dari air
muka itu. Aku Michelia. Eyangku memberiku nama ini karena ia begitu mencintai
bunga cempaka. Ingat ! ini bukan kemauanku berada di lingkungan ini. Aku bahkan
sangat membenci teriakan-teriakan senior yang terlempar semaunya yang
hampir-hampir memecahkan gendang telinga. Mereka selalu beralasan, “ Di hutan
nanti, teriakan-teriakan semacam itu sudah biasa. Bagaimana nanti jika ada
bahaya kalau suaramu saja menyerupai rintihan nenek tua”. Begitu mereka
menamakan kekerasan ini sebagai bentuk kasih sayang kepada juniornya.
*
Walaupun
sudah memasuki semester lima, aku bahkan belum bisa menerima. Kemampuan
berbahasa asingku yang lumayan nyatanya tak begitu berguna disini. Menghafal
nama latin pohon, merencanakan pembuatan jalan sarad, menghitung riap. Aku sama
sekali tidak tertarik. Hanya karena kejeniusanku saja aku bisa bertahan dengan
nilai yang cukup baik.
Masa
bodoh dengan prinsip kelestarian. Hutan itu untuk siapa ? Untuk apa menebang
pohon sesuai dengan riap, sesuai dengan pertumbuhannya tiap tahun ? Toh banyak juga yang menebang dengan
asal, memanen tanpa memperhatikan keberlanjutan ekosistem.
“
Hutan itu bukan paru-paru dunia, selama ini orang awam salah mengartikan”
Ayunan
penaku terhenti. Tiba-tiba saja aku tertarik untuk mendengarkan ketika dosen
yang galak itu menerangkan. Kata-katanya membuatku penasaran.
“
Paru-paru menyerap oksigen dan mengeluarkan karbondioksida, sementara hutan
menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen, jadi berbeda jauh”, ujarnya
sambil terkekeh, berjalan diantara kursi-kursi mahoni yang kian tua. Tawanya
sama sekali tidak menggemaskan.
Sungguh membosankan. Ingin sekali
aku hengkang dari tempat ini, melanjutkan mimpi-mimpi yang ‘tertunda’. Sekolah modelling, desainer, berkecimpung dengan dunia busana yang tiada
habisnya, merancang model-model baru yang kekinian, atau aku bisa saja
mengambil hubungan internasional. Bukan ini. K-e-h-u-t-a-n-a-n !
*
Pesawat yang kami tumpangi sebentar
lagi mendarat. Bandara Kalimarau sudah di depan mata. Matahari Berau seakan
menyapa, menyambut kedatangan kami di tanah Borneo. Seorang laki-laki tua
dengan pakaian dinas lapang birunya melambai kearah kami. Aku tak menyangka.
Sampai juga aku di tempat ini. Sampai juga aku di saat ini. Mencoba meneguhkan
hati, belajar menerima. Kenyataannya, kejadian beberapa bulan lalu membuat
hatiku luluh perlahan, terbuka meski sedikit enggan.
Sore itu, dalam belantara Taman
Nasional Way Kambas, aku terpisah dari rombongan. Ya, karena sifat keras
kapalaku, aku tersesat. Tanpa membawa lampu penerangan, aku berjalan penuh
kewaspadaan, menyibak serasah basah lantai hutan yang mungkin saja di dalamnya
terdapat ular yang mematikan. Aku lupa petuah itu, lupa sekali.
“
Ketika kau memasuki kawasan hutan, berkelakuanlah yang sopan, jaga bicaramu,
jangan kau berlaku sombong, makhluk mana pun tak suka orang yang sombong,
menganggap dirinya lebih baik dari yang lain. Ingat kan mengapa Adam diturunkan
dari surga?”
Ya
Tuhan.. betapa takutnya aku sekarang. Berada di tengah tempat yang kubenci,
tempat yang selalu kumaki.
Angin
senja membuat gesekan daun-daun kian menakutkan, rembulan bundar berpendar seram. Apapun bisa
muncul dari rimbunnya semak belukar. Langit makin gelap, mendung membenamkan bulan.
Benar saja, tiba-tiba semak-semak itu berbisik ngilu. Sebuah bayangan besar
mendekat, lamat-lamat namun makin cepat. Jangan sekarang, Tuhan. Aku berjanji
jika Kau menyelamatkanku hari ini, aku akan mencintainya. Aku akan menjalankan
kewajibanku, melaksanakan perintah-Mu menjaga alam ini, karena memang itulah
tugasku. Dalam tangis tak bersuara aku memejamkan mata, mungkin ini memang
saatnya. Jika saja aku bisa mengulang waktu...
Bayangan besar itu sudah berada di
hadapanku. Seekor gajah dengan satu
gading yang dimilikinya mengelus kepalaku dengan belalainya. Keempat kakinya
terlipat seolah memberi isyarat. Hei, aku mengenalnya. Jika ada satu hal yang
‘harus’ aku sukai dari hutan adalah binatang ini, gajah. Budi namanya. Dia
adalah salah satu gajah jinak yang berada di Taman Nasional Way Kambas. Aku
ingat, salah satu petugas disini pernah menjelaskan. Gajah adalah binatang yang
sensitif. Jika manusia berbuat baik padanya, ia akan melakukan hal yang sama.
Namun sebaliknya, jika manusia berlaku buruk, seumur hidup ia akan
mengingatnya. Pernah ada sekelompok gajah mengamuk mendatangi perkampungan
warga, merusak ladang pertanian. Gajah-gajah itu mencari seekor anaknya yang
diburu warga. Kawan-kawanku mungkin tak akan percaya kejadian ini. Seekor gajah
menyelamatkanku, mengantarku ke resort dimana aku tinggal. Ia sudah hafal tempat
ini, akrab dengan para polisi hutan.
Kejadian
itu, aku sungguh tak akan pernah lupa.
Memang
benar, Alam tak pernah salah, manusia-lah
yang banyak bertingkah.
Lambat
laun, aku makin suka. Entah mengapa, aku merasa nyaman berada di tempat ini.
Hutan. Kali ini aku ingin melihat kecantikan rimba Kalimantan, menjelajah
gambutnya yang terkenal, menyambangi hutan bakau Berau, menginjakkan kaki di
rawa-rawa payau.
Ternyata
aku benar-benar jatuh cinta.
Sembari
menyantap daging rusa, kami membahas persiapan untuk cruising (2) esok hari. Pembimbing lapang kami adalah
seorang, yah mungkin bisa disebut kakek karena sudah memiliki seorang cucu.
Beliau bekerja disini hampir setengah abad. Walaupun keriput di wajahnya tak
bisa menutupi usianya yang terbilang tua, namun semangatnya melebihi kami.
Lengannya masih kekar, bahunya masih kuat menggendong ransel yang berkilo-kilo
beratnya. Jauh dari keluarga tak membuatnya lupa. Ada satu, satu hal yang
membuat Kai-begitu kami memanggilnya
betah tinggal berpuluh tahun disini.
Ketika fajar menyingsing, kami mulai
berkemas. Cahaya emas mentari yang menelisik di ranting-ranting meranti begitu
menghangatkan.
“
Kita hendak kemana, Kai ?” tanyaku
seraya bergegas, menyeimbangkan langkah Kai (3) yang terlampau
cepat.
“Ikut
saja, Kai akan mengajakmu ke suatu
tempat rahasia”
Tiba-tiba
Kai berhenti.
“
Tempat ini dulunya bekas tambang. Tapi kau lihat ? Pohon-pohon tumbuh subur
disini padahal tanah-tanah ini beracun, tak sembarang tumbuhan bisa hidup. Ada
tumbuhan pionir, mereka yang memulai, mereka yang memiliki semangat lebih dari
yang lain, menjadi pembuka jalan untuk kehidupan selanjutnya,”
Tak
kusangka Kai begitu pintar.
Kata-katanya membuktikan bahwa orang yang berpendidikan saja belum tentu lebih
cerdas dari orang yang berpengalaman.
Lalu
kami melangkah lagi, hingga tiba di sudut hutan yang begitu rimbun, sedikit
gelap tertutup kanopi.
“
Oh, lihatlah keindahan ini. Lihatlah tajuk-tajuk pohon itu, yang membentuk atap
hijau pelindung bumi. Penjaga keseimbangan suhu udara. Lihatlah batang kokoh Kempas
itu. Di banirnya beruang madu menyandarkan punggungnya, di cabangnya lebah madu
merajut sarang. Ketika satu pohon hilang, maka hilang pula harapan-harapan.
Asal kau tahu, Nak. Di dalam satu pohon bahkan bisa terdapat beribu kehidupan,
beribu kegunaan. Lihatlah paku-pakuan itu. Bisa jadi suatu hari nanti, saat
dunia kedokteran semakin maju, saat teknologi semakin baru, dia adalah obat dari penyakit yang sekarang tidak ada
obatnya, “
Bulu
leherku bergidik, merinding rasanya mendengarkan kata-kata kakek tua itu
“
Atau pohon itu, gaharu. Dari batangnya kau bisa mencium semerbak wangi parfum
artis kelas atas, tak perlu jauh-jauh ke luar negeri Nak. Jika kau bisa
menjaganya agar tidak punah, kau bisa menciptakan pabrik minyak wangi terbesar
di dunia. Tapi lihatlah, banyak orang yang tak berpengetahuan menebangnya
secara paksa. Padahal tidak semua pohon mengandung gaharu itu, untuk itu kau
harus menimba ilmu, agar sauh tak salah berlabuh, “
Mataku
semakin terbuka. Bagaimana mungkin aku telat menyadari jika hutan begitu
mempesona.
Sekarang
aku mengerti mengapa sang kakek mau
menghabiskan seluruh sisa hidupnya di tempat ini.
Pemandangan yang menyejukkan mata,
udara yang menyatu begitu segarnya. Indonesia memiliki hutan yang begitu luas,
hutan tropis terbesar kedua setelah Brazil. Di dalamnya tersimpan biodiversitas
yang tak terhitung jumlahnya. Negara-negara di dunia bergantung pada Indonesia.
Hanya saja Indonesia dibodohi, seharusnya Indonesia bisa meminta imbalan atas
jasa lingkungan yang diberikan.
“
Dan sungai-sungai itu, mereka akan mengering jika hutan habis. Padahal kau tahu
sendiri anak-anakku, negara kita adalah negara maritim, juga negara yang
memiliki seribu sungai. Dari sungai-sungai itu, kita bisa mendirikan pembangkit
listrik tenaga air, dengan listrik, industri-indutri akan berkembang. Kita bisa
jadi negara maju, Nak (4). Hanya saja jika kita mampu menjaga alam
ini, “
Kami
membisu.
“
Pesan terakhirku. Jadilah kau seperi Macaranga. Ketika yang lain belum
bergerak, kau sudah jauh melangkah. Ketika yang lain tak peduli, kau telah
mempersiapkan diri. Kau harus tangguh, siap menghadapi keadaan sesulit apapun. Untuk
menyimpan segala keindahan ini, kau juga harus berani. Bertahan bahkan ketika
kau sendiri. Percayalah, jika niatmu baik, akan selalu ada Tuhan yang
melindungi. Jadilah pionir, pemula. Ikutilah jejaknya. Siapa lagi yang akan menjaga keajaiban ini selain
kita ? “
Kali
ini aku tak dapat lagi berbicara
Sembari
menyanyikan Mars Rimbawan, kami meneruskan perjalanan.
Hai perwira, Rimba raya
Mari kita bernyanyi
Memuji hutan rimba dengan lagu yang
gembira
Dan nyanyian yang murni
Meski sepi hidup kita
Jauh di tengah rimba
Tapi kita gembira sebabnya kita
bekerja untuk nusa dan bangsa
Belum
pernah aku mendengarkan lagu yang semerdu ini, lirik-liriknya yang menggetarkan
hati. Duhai syahdunya. Mars rimbawan bukan diciptakan tanpa makna. Ada
janji-janji disana, ada kecintaan yang mendalam.
Sungguh,
aku pasti akan merindukan tempat ini.
Sekian
Catatan kaki
(1) : lirik Mars Rimbawan
(2) : sebuah kegiatan
inventarisasi hutan untuk melihat potensi hutan
(3) : panggilan untuk
Kakek dalam bahasa Banjar
(4) : penjelasan salah
satu dosen Manajemen Hutan IPB
Komentar
Posting Komentar