Senja di Penghujung September
Sebuah cerpen yang pernah diikutsertakan lomba cerpen diva April 2012, salah satu cerpen yang terselamatkan atas musibah rusaknya harddisk laptop T.T
Inspirasi bikin cerpen ini dari seseorang, seseorang yang pernah singgah di hati :D
cukup panjang, sekitar 11 halaman. Jangan baca saat dosen lagi jelasin materi kuliah ya :p
Thanks for reading !
Inspirasi bikin cerpen ini dari seseorang, seseorang yang pernah singgah di hati :D
cukup panjang, sekitar 11 halaman. Jangan baca saat dosen lagi jelasin materi kuliah ya :p
Thanks for reading !
Senja
di Penghujung September
Pagi
menyeruak dari keheningan. Bayang-bayang kegelapan kian memudar. Gurat sinar
sang surya terbesit di cakrawala. Pendar bintang dan bulan tenggelam dalam
angkasa. Katamu, ini adalah saat terbaik untuk menikmati keindahan simfoni Sang
Pencipta. Saat dimana kau bisa merasakan udara segar yang dapat kau hirup
secara cuma-cuma. Mendengarkan alunan melodi yang memberimu nuansa penyejuk
jiwa. Jua, melihat gradasi warna yang terbentang di sela-sela mega. Setidaknya,
itu yang kau katakan padaku saat kita untuk yang kedua kalinya bertatap muka.
Kau
adalah seniorku, dan aku adalah juniormu. Aku mengenalmu karena kau adalah
bagian dari suatu organisasi daerah, yang juga kuikuti.
Ya, kita berasal dari
satu daerah yang sama. Berada dalam satu kampus yang sama, dan juga mengambil
jurusan yang sama. Entahlah, apa yang mereka pikirkan pula mengenai kita saat
mereka tahu bahwa nomor induk mahasiswa kita adalah sama, hanya berbeda satu
angka, yang menunjukkan bahwa kau adalah seniorku, dan aku adalah juniormu.
Takdir mungkin. Tapi semua itu terjawab saat kau menyatakan cinta. Kala itu kau
baru saja menyelesaikan praktikum dendrologimu. Kau mengajakku, tentu dengan
teman setiamu yang berjubah biru-yang kau bilang itu keluaran terbaru. Kita
melewati kabut pekat yang menyelimuti sebuah perbukitan. Mengusir dingin yang
perlahan menyerang. Dan kita duduk di tepi jalan, dimana di depan kita
terhampar lukisan alam karya Sang Maha Kuasa yang begitu mempesona. Kau bilang
kau suka padaku, dan aku menjawab, “Aku juga suka padamu” meskipun saat itu
kita baru lima kali berjumpa !
***
Orang
memanggilmu dengan sebutan Radit. Nama panjangmu adalah Raditya Aji Sektiari.
Herannya, nama kita juga mirip. Namaku Aruna. Aruna Anifa. Mereka memanggilku
Runa. Raditya dan Aruna, dalam dasanama bahasa Jawa berarti matahari. Kau
pernah bercerita padaku, bahwa nama itu adalah pemberian dari kakekmu yang
piawai bermain wayang. Siapa peduli, pikirku. Dulu segala ocehanmu kuanggap
angin lalu. Tak berarti, tak bermakna. Namun kini, menginjak tujuh bulan jadian
kita, aku mulai bisa memahami sedikit demi sedikit setiap kata yang terucap
dari bibirmu. Meski orang memandangmu seorang yang aneh dengan tawa yang
frekuensinya bisa merusak telinga, memakai celana jins yang hanya itu-itu,
bahkan hanya untuk menyisir rambutmu pun kau malas sekali !
Apa yang bisa kubanggakan dari
seorang pemalas sepertimu ? Yang mengerjakan laporan praktikum ekologi
hutan-yang pembahasannya bisa berlembar-lembar, hanya dalam waktu satu jam
sebelum laporan itu dikumpulkan ? Kau dan aku berada di fakultas yang sama,
Kehutanan. Aku berada disini, karena aku begitu ingin menyelamatkan pohon-pohon
yang seharusnya tidak ditebang. Kau berada disini, karena ayahmu adalah juga
seorang rimbawan. Menurutku, kau hanya sekedar ikut-ikutan.
Tapi
aku salah menilaimu. Meski tampangmu seperti orang yang tak bisa diandalkan,
meski rambutmu terlihat acak-acakan, dan
wajahmu sedikit mirip berandal, siapa menyangka jika kau bisa menjadi
ketua angkatan departemenmu? Memimpin ratusan anak dengan volume otak yang
berbeda-beda, yang tentunya, tak sama pemikirannya. Dan, yang kutahu kau tak
pernah belajar, kau bisa mendapatkan nilai yang begitu bagus di setiap ujianmu.
Entahlah apa yang kau lakukan di
kediamanmu. Temanmu berkata bahwa kau hanya berleha-leha di kelas. Bercanda
gurau dan membiarkan dosen berbicara ini-itu tanpa ada yang masuk ke kepalamu.
Kau bahkan sering sengaja datang terlambat ke kelas untuk mendapatkan bangku
paling belakang, meskipun kau harus berhadapan dengan teguran-teguran dosen
yang terkadang pedas dan menyebalkan.
Aku
adalah Runa. Teman-teman angkatanmu sudah mengincarku sejak aku baru memasuki
tingkat pertama. Wajahku memang biasa saja, namun yang sering kudengar dari
orang, mereka mengatakan bahwa aku manis manis gadis jawa. Mungkin, di tanah
yang kebanyakan ditempati oleh orang-orang Sunda ini, wajah-wajah sepertiku
termasuk barang langka yang wajib diburu. Entahlah, terkadang orang-orang itu
memang berlebihan dalam mengapresiasikan sesuatu.
Kau
semester empat, sementara aku baru semester dua. Kita mulai dekat saat aku
meminjam buku-bukumu beberapa minggu setelah aku beruntung diterima sebagai mahasiswi kampus kita. Kita sering jalan-jalan, tentunya dengan si
biru beroda dua kepunyaanmu yang berplat nomor AA 5392 EH. Setiap sore di hari
Sabtu kita selalu menikmati lezatnya soto lamongan yang letaknya tak jauh dari
kampus kita. Kau tahu, di dekat kampus kita terdapat suatu jalan kecil
ramai yang berdiri banyak sekali warung
di pinggirnya. Juga, toko-toko yang menyediakan segala macam kebutuhan kita.
Kau juga bisa menemui tempat fotokopi, warnet,tempat percetakan foto, deretan
tenda-tenda makanan dan camilan, banyak sekali jenisnya. Di ujung jalan itu, disanalah
tenda kecil itu berdiri. Cak Nur pemiliknya. Dia sudah hafal pesanan kita. Kau
begitu lahap menyantap soto yang di atasnya tertabur koya gurih itu. Aku selalu
memilih sate telur puyuh sebagai teman makan kita. Segelas teh tawar hangat,
nikmat sekali jika disajikan dengan menu itu, semangkuk soto khas Jawa Timur.
Hari
ini kau mengajakku ke rumah makan yang tak biasa. Sedikit mewah rupanya. Kau
bilang padaku, ini hanya sekedar merayakan tujuh bulan jadian kita. Ya, meski
kau sudah terlambat dua belas hari.
“
Kau mau makan apa?” katamu sedikit kaku
“
Aku sedang tak selera,”jawabku berpura-pura
Sebenarnya
aku sangat ingin mencicipi menu-menu mahal di tempat ini. Namun aku tak tega.
Aku tahu kau harus menyisihkan beberapa helai uangmu, dan mengubah menu makanmu
seminggu ke depan untuk menjamuku
disini. Kau memesankan dua porsi kerang hijau saus padang dan dua gelas strawberry milk shake untuk kita.
Kau
bilang, kau akan melakukan perjalanan studi di bulan Juni sebagai praktikum
salah satu mata kuliahmu. Katamu, kita mungkin tak bertemu selama enam minggu.
Ujarmu lagi, kau akan melakukan observasi di salah satu gunung yang mencakup
tiga kabupaten di Jawa Barat, Gunung Gedhe Pangrango, juga sebuah pantai
primadona dimana kau bisa melihat terbit dan tenggelamnya matahari di tempat
yang sama, Pangandaran. Beruntung sekali kau. Pernah aku membacanya di dunia
maya, ada festival layang-layang di bulan Juni atau Juli disana. Kau pasti
senang sekali karena itu bersamaan dengan observasimu.
Bulan Juni adalah bulan kelahiran
kita. Jodoh sekali, sehari setelah tanggal kelahiranku, adalah tanggal dimana
kau terlahir meski bukan di tahun yang sama. Kau dan aku berbeda dua tahun.
“
Hei,” kau mengayunkan tanganmu di depan wajahku
“
Mungkin aku tak ada disini saat ulang tahunmu. Jangan sedih,ya “ lanjutmu membuyarkan
anganku
Aku
diam saja, membayangkan hari bahagiaku yang begitu hampa tanpamu.
Kau
memandangku, lalu tergurat senyum khasmu, yang selalu membuat darahku berdesir.
Sejenak kita membatu. Ah, rasanya aku ingin pergi saja dari sini.
“
Ini,” kau mengeluarkan flashdisk
merah dan meletakannya di genggaman tanganku.
“
Kau buka, ya. Di dalamnya ada sesuatu yang mungkin bisa sedikit menghiburmu di
ulang tahunmu. Aku juga membelikan ini untukmu. Daripada aku terlambat, lebih
baik sekarang aku memberinya,”
Lagi-lagi
kau membuatku terpaku. Kau memberiku bingkisan yang bermotif lucu. Dan kau
membuatku ternganga dengan sekotak cat minyak yang tlah lama kuinginkan. Kau
juga memberiku sebuah buku catatan berwarna hijau pastel karena kau tahu aku suka menulis. Aku melempar senyum padamu.
***
Aku
terpekur di depan cermin. Membiarkan ponselku bernyanyi. Aku tahu, itu pasti
Nugra. Dua minggu ini dia mencoba mendekatiku. Kau pasti cemburu jika kau tahu
lelaki yang dulu pernah mengisi bagian dari hatiku itu, kini sedang
menggencarkan serangannya untuk mengambilku kembali darimu. Dua minggu juga kau
tak memberiku kabar. Ucapmu waktu itu, pagi dimana kau bersama teman se-ekspedisimu
hendak berangkat ke Pangrango,” Disana mungkin tak ada sinyal, tapi kau tenang
saja. Aku pasti akan jaga diri, tak
perlu kau khawatir,” sesungging senyum hadir dalam raut sedih yang tak bisa kau
sembunyikan.
Sudah
kucoba menanyakan kabarmu pada teman-temanmu, tapi mereka juga tak pernah
membalas pesanku. Aku hanya bisa mendoakanmu. Tanggal 15 Juli kau akan pulang.
Itu lama sekali. Lusa adalah ulang tahunmu, dan besok adalah ulang tahunku. Aku
masih berharap kau bisa datang menemuiku dalam keadaan seperti sebelum kau
berangkat, dengan rambut ikalmu yang dulu kau pertahankan sebelum peraturan
fakultasmu mewajibkan kau potong rambut dengan ketebalan satu sentimeter saja.
Dan aku ingat sekali waktu itu kau menggerutu. Lucu sekali air mukamu.
Hari-hariku
mulai terasa sepi. Biasanya, subuh-subuh seperti ini aku selalu menelponmu
untuk mengingatkan kau pada kewajiban kita sebagai umat yang taat pada
Tuhannya. Kini, setiap aku menekan tombol di ponselku,memerintah jari-jariku
merangkai nomormu, tak pernah bisa kudengar suara bass-mu yang kadang terdengar ogah-ogahan. Dan, kau membuatku
kecewa untuk kesekian kalinya.
Nugra
datang dengan membawa lagi kenanganku dengannya, dulu waktu aku masih
bersamanya. Kuakui, aku begitu menyayanginya dulu. Dia memberi segala yang aku
mau. Melakukan semua yang kuminta. Dan, membuatku tak bisa merasakan jatuh
cinta lagi. Dia mengingatkanku pada masa dimana kami saling mencinta. Aku
bertahan dengan tidak menggubrisnya.
Tapi rupanya, serpihan cinta yang telah tersimpan jauh entah kemana, sekarang
menghampiriku lagi.
Hari
ini usiaku genap sembilan belas tahun. Nugra datang ke kost-ku dan mengajakku makan
malam. Kejutan dari teman-teman satu kost-ku ternyata tak cukup membuatku
bahagia. Tapi sungguh, aku merasakan perasaan yang janggal ketika kami menghabiskan
malam di tanggal 21 Juni. Aku bingung sekali. Dimana rasa sakit yang dulu selalu
menyiksaku ketika kutatap kedua bola matanya ? Dimana rasa benci yang selalu
membelenggu rasa kagumku padanya? Dimana bait janji setia yang pernah kuukir di
sebaris puisi untukmu ?
Dia membuatku sejenak melupakan kesedihanku,
dan bahkan aku melupakan sesuatu yang harusnya kutemukan dalam benda kecil yang
kau beri padaku, waktu kau mengajakku makan untuk perayaan tujuh bulan jadian
kita.
Ya,
pagi ini adalah tanggal 22 Juni. Maafkan aku. Ternyata aku masih menyisakan
satu ruang kecil untuk Nugra, tanpa kusadari. Sungguh aku begitu jahat ! Sama
sekali aku tak mengingatmu, bahkan aku tak ingat sedikit pun akan hari ulang
tahunmu. Karma mungkin akan menghukumku.
Aku
memang tak pernah berkata ‘Ya’ pada Nugra untuk meyakinkan aku telah kembali
padanya. Tapi Nugra meninggalkanku untuk yang kedua kalinya. Aku menyesal
karena telah merusak kepercayaanmu. Perlahan rasa rindu melekat di dadaku.
Senyummu yang begitu hangat tentu tak mudah untuk kulupa. Ah, kau memang selalu
begini,membuatku tak berdaya. Memaksa otakku men-sketsa wajahmu dalam benakku.
Dan saat sekelebat adegan pertemuan kita di rumah makan itu terlintas, aku pun
teringat akan flashdisk merahmu.
Sesak
dadaku ketika kulihat video yang kau buatkan untukku kuputar. Di video itu, kau
bernyanyi bersama teman-temanmu mengucapkan selamat ulang tahun. Banyak sekali
orang-orang disitu. Kulihat juga seorang gadis dengan rambut panjang terurai
dengan tahi lalat di sudut matanya tersenyum pula padaku. Dia Niara, sahabatku
dulu sebelum kami saling membenci. Ya, dia yang telah mengambil Nugra dariku.
Tapi kulihat nada yang begitu tulus ia ucapkan dalam video berdurasi sepuluh
menit itu. Di tiga menit terakhir, kau nyanyikan lagu Pasto “ Aku Pasti Kembali
“ dengan petikan gitarmu yang sedikit terdengar aneh. Kau memang tak begitu
pandai bermain gitar. Tiba-tiba, belum usai lirik lagu itu kau nyanyikan, teman
samping kamarku Ayu, menghampiriku dengan
wajahnya yang pucat dan berpeluh.
“ Runa tos terang teu
acan ?”
Karena
aku sudah cukup lama bersahabat dengannya, aku bisa sedikit mengerti beberapa
patah kata dalam bahasa sundanya.
“
Tau apa, Yu ? Kenapa ?”
“
Ayu baru dapat telfon dari Aa’, katanya ada rombongan praktikum lapang yang
kebawa ombak di Pangandaran. Ada sekitar empat orang,” jelasnya
Video
itu selesai dan tubuhku terkapar di lantai. Ada perasaan takut kehilangan,
meski aku belum tahu siapa yang Ayu ceritakan disana.
Dan
lima belas Juli pun terlewat sudah. Ketika kusambut kedatanganmu di gerbang
kampus kita dengan berharap bisa melihatmu diantara mereka, membayangkan kau
turun dari truk besar dengan celana
lapangmu dan tas carrier di
punggungmu yang membuatmu terlihat begitu gagah, aku pun harus menghapus lagi
keinginanku. Tak ada kau disana, dan mereka begitu jahat padaku. Mereka tak mau
menceritakan tentangmu. Setiap orang yang dulu kau kenalkan padaku, mereka
bahkan bersikap seperti mereka tak pernah
mengenalku.
Dimana
kau ? Sebentar lagi hari jadian kita yang pertama. Kembali aku mengenangmu. Kau
begitu baik. Waktu itu aku memintamu mengantarku membeli perlengkapan masa
perkenalan kampusku. Menyuruhmu buru-buru, dan ketika kau begitu lama
menjemputmu, aku mengumpat. Aku akan memarahimu nanti jika kau tiba di depanku.
Tapi saat kuterima telfon darimu, jatuh juga tirta bening yang tidak seharusnya
menetes detik itu. Kau kecelakaan. Sungguh aku menyesal.
Tidak ada yang tahu dimana keberadaanmu
saat ini. Tapi aku pernah mendengar potongan pembicaraan rekanmu. Dia berujar,
“ Kasihan sekali Radit. Niat baiknya menolong teman satu regunya yang
tenggelam, malah membawa petaka. Dia tidak bisa pulang bersama kita,”
Aku
tahu kau tak bisa berenang. Dan semenjak kudengar percakapan itu, hilanglah
segala harapanku.
***
Senja di akhir September.
Kucoba
menarik bibirku merangkai sebuah senyum kecil yang selama ini tak pernah hadir
di wajahku. Kuambil pensil arang, pensil lukis baruku yang tak pernah kusentuh.
Kubayangkan kau sedang tersenyum dengan satu lesung pipit di pipi kirimu.
Kucoba melukis wajah kita. Aku sedang berdiri di sampingmu. Kau tersenyum
bangga mengenakan toga. Kau tahu sendiri,aku tak pernah berhasil melukis wajah
seseorang sebelumnya. Namun aku begitu puas ketika garis-garis hitam itu
berhasil membentuk sebuah pola yang begitu mirip dengan aslinya. Tak lama
kemudian ada yang menelponku, sederet angka yang tak pernah tercantum di
ponselku. Kuangkat dan sedikit kudengar suara ombak mendera. Seseorang di
seberang sana berbisik dengan lembutnya, “ Sayang,”
Sekian
Komentar
Posting Komentar