Di bawah Tegakan Casuarina
Cerpen IAC ku yang gagal ditahun 2013, tema : Kisah kasihku dengan institusiku
Di bawah Tegakan Casuarina
Menjadi
anak seorang pencari ikan bukanlah halangan untuk terus menimba ilmu. Berasal
dari keluarga yang sederhana juga bukan alasan untuk tidak mengejar mimpi. Aku
mengenalmu sedari kecil, sedari kita masih belajar mengaji bersama di surau
ustadz Halim ba’da magrib, sedari kita mengeja huruf-huruf hijaiyah di juz
amma, semenjak kita selalu pulang sekolah, lalu kita berburu undur-undur di
tepi pantai dan menggorengnya menjadi rempeyek di rumahmu, kawan. Aku
mengenalmu
lebih dari kau mengenal dirimu sendiri, bahkan.
Mereka
bilang kita sahabat sejati. Mereka bilang kita layaknya pasir dan ombak, dimana
kau ada, disitulah aku ada. Bahkan sewaktu kita masih duduk di bangku sekolah
menengah pertama pun kita sama-sama menyukai Rofi’ah, gadis berambut keriting
yang paling cantik di kelas kita. Ibumu adalah penjual lotek, yang selalu buka selepas subuh sampai menjelang dhuhur.
Sepulang sekolah kau biasa mengajakku makan di rumahmu. Sepertinya kau sangat
tahu kalau aku telah jatuh cinta dengan makanan campur aduk buatan ibumu itu.
Ketika
kita duduk di tahun pertama SMA, kau pernah menunjukkan padaku tentang catatan
mimpi-mimpimu di sebuah buku note pemberian
Rofi’ah. Aku tahu kau sangat suka menerima hadiah karena kau mendapat peringkat
pertama ujian akhir nasional smp di sekolah kita. Aku tahu bagaimana kau
menjaga buku kecil itu, membawanya kemanapun kau pergi, aku juga masih ingat
ketika kau ikut ayahmu berlayar dan buku itu jatuh di tengah lautan, kau
menyelam demi untuk mendapatkannya kembali. Lalu kau jemur buku itu bersama rese di pekarangan rumahmu. Di halaman
pertama, kau tulis “ Aku suka kamu, Rofi’ah “ dan aku tertawa ketika
melihatnya. Ternyata cintamu pada Rofi’ah belum hilang-hilang juga.
“
Hei Pul. Kamu mau lanjut kemana setelah lulus SMA? “ tanyamu sore itu di bawah
tegakan cemara laut, tempat kita berdua berbagi cerita
“
Ndak tau aku San. Lah wong bapak ndak punya duit kok. Paling juga ke Jakarta
ikut pakdhe,” jawabku dengan logat daerah kita, Jogjakarta.
“
Aku pengen masuk IPB, Pul “ lanjutmu sambil memandang jauh ke ombak biru yang
berdesir.
Pengunjung
pantai ini mungkin menganggap kita homo, menganggap kita aneh karena kita
sering duduk berdua di bawah pohon cemara. Namun bagi mereka, nelayan kampung
kita, mereka pasti mengenal kita sebagai sahabat yang sangat lengket dari
kecil. Lalu kau menunjukkan buku bersampul Naruto itu padaku. Aku kagum, aku
terpana. Ternyata, isi dari buku itulah yang membuatmu mempertahankannya, bukan
karena dari siapa buku itu berasal. Aku tahu kau orang yang ambisius. Kau juga
keras kepala. Ketika kau punya suatu keinginan, kau pasti akan mati-matian
memperjuangkannya. Seperti mimpimu yang ini, kuliah di IPB. Aku bahkan tak
habis pikir mengapa kau bisa memilih sekolah yang jauh dari kampung halaman
kita, sementara di kota kita saja, yang orang bilang “ Kota Pelajar “ kau bisa
menemukan banyak pilihan universitas mulai yang negeri sampai yang swasta. Tapi
ternyata kau punya satu mimpi yang luar biasa.
“ Aku pengen bikin obat dari limbah
kayu lho Pul. Keren tho ? Tak
pikir-pikir lagi aku sudah mantep. Pokoknya aku harus kuliah disana. Aku pengen
masuk jurusan apa itu namanya, teknologi hasil hutan. Nanti aku juga bisa bikin
mesin yang bisa jadiin pohon-pohon cemara ini jadi produk yang bagus selain
untuk menahan angin laut”
Kulihat
ada semangat yang begitu besar ketika kau mengucapkannya. Tak ingin merusak
mimpimu, aku pun menyahut dengan nada suara yang setinggi kau bicara
“ Wah, bagus itu. Aku malah ndak
punya mimpi opo-opo, “
“ Ipul, ipul. Namanya orang hidup yo
harus punya mimpi, tho ya. Mimpi itu
harapan, mimpi juga bisa membawa kita ke suatu tempat, membawa kita ke arah
yang tak terduga “ kau tertawa sambil menepuk-nepuk pundakku keras.
Nampaknya
aku harus hidup meniru kau, Hasan. Hidup dengan berjuta mimpi. Aku bahkan tak
tahu harus melanjutkan kemana setelah lulus nanti. Yang ada di bayanganku hanya
menjadi buruh di pabrik-pabrik di Jakarta. Tidur di mess dan kerja berganti
shift, malam atau siang. Untuk kuliah di daerah kota kita pun aku tak pernah
terbayang. Bapak kita pencari ikan, yang penghasilannya hanya cukup untuk
membeli beras setiap hari. Ibuku sudah meninggal semenjak aku masih bayi karena
beliau terkena malaria. Kedekatan kita bahkan seperti saudara, karena ibumu
menganggapku sebagai anaknya, dan aku juga sering memanggil ibumu ‘simbok’
sebagai tanda bahwa kita lebih dari sekedar sahabat.
Tiap sepulang sekolah, kita selalu
belajar bersama dibawah tegakan cemara laut di pesisir pantai tak jauh di rumah
kita. Kadang kau juga mengajak teman sekelas kita yang lain untuk mengerjakan
tugas sekolah atau sekedar membaca buku. Kau memiliki tekad yang besar. Kau
menabung demi membeli buku inovasi IPB yang sangat kau inginkan. Kau juga
sangat rajin mengumpulkan kulit kerang untuk kau jual per kilonya di pengepul.
Dan yang membuatku semakin kagum, kau rela bersepeda jauh-jauh untuk menjadi
penjaga warnet dengan upah yang tak seberapa. Tapi katamu disana, kau bisa
mengakses internet secara gratis, dan saat itulah kau mencari informasi
sebanyak-banyaknya tentang kampus impianmu, Institut Pertanian Bogor yang
kemudin kau tulis di setiap lembaran kertas di buku kecilmu.
Hasan, Hasan. Aku yang bodoh ini sangat
bangga memiliki sahabat sepertimu. Aku bahkan malu. Ketika seorang laki-laki
tak punya mimpi, mau jadi apa hidupnya nanti. Lalu aku mulai mendalami bahasa
inggris, salah satu mata pelajaran favorit di sekolah kita. Menjadi guru bahasa
inggris sepertinya bagus, pikirku. Aku juga lebih sering membaca artikel
berbahasa inggris. Mengejanya dengan pronounciation
yang sebisa mungkin persis dengan aslinya, menambah kosa kata dengan
sesering mungkin membaca, lalu mengucapkannya berulang-ulang sampai Bapak
mengerutkan dahinya ketika mendengar bahasa asing itu kuucap berulang kali. Aku
tak mau hanya menjadi buruh di pabrik, terlebih ketika kemarin aku mendengar
berita tentang buruh yang disekap majikannya lalu disiksa. Aku ingin
mengajarkan banyak hal kepada anak kecil, kepada anak- anak nelayan di kampung
cemara tentang pentingnya mengenal bahasa asing, agar mereka kelak bisa pergi
ke luar negeri, agar mereka kelak bisa menjadi pengusaha-pengusaha, bukan hanya
anak dari perajut jala yang menerbangkan layang-layangnya ketika angin laut menerpa.
Aku juga punya mimpi yang besar sepertimu, Hasan. Suatu hari nanti ketika kita
bertemu, aku yakin kita akan menggenggan kesuksesan di tangan kita.
**
Ketika pengumuman kelulusan itu
tercantum di papan pengumuman sekolah, aku langsung memeluk Hasan. Bukan hanya
aku yang memelukmu ternyata. Teman sekelas kita yang lain pun melakukan yang sama. Ah, nampaknya
kisah cerita kita ini mirip dengan kisah persahabatan dalam film Three Idiots yang pernah kita tonton
bersama-sama kala itu. Ide kreatifmu membuahkan hasil Hasan. Selepas pulang
sekolah, ketika kita duduk di kelas tiga, kau selalu mengajak kami semua
belajar bersama, mengulang mata kuliah yang akan diujikan nanti. Setiap orang
memiliki pohon cemaranya sendiri, dimana setiap hari kami harus menghafal
rumus-rumus dengan menuliskannya pada secarik kertas, lalu menggantungnya di
ranting-ranting cemara. Mirip sebuah pohon harapan, memang. Sepulang sekolah
kita biasa memancing, membakar ikan sendiri sambil menghafal rumus-rumus yang
ada di pohon cemara, dimana di bawah tegakan itulah kita berkumpul. Kau memilih
pohon cemara yang paling kecil, kurus dan daunnya sedikit. Bukan tanpa alasan,
dengan begitu kau lebih termotivasi katamu. Pohon cemara mu yang paling meriah.
Setiap rantingnya yang patah kau gantungkan tiga huruf favoritmu, IPB. Kau
mengajari kami bagaimana cara mendapatkan beasiswa melalui informasi yang kau
dapat ketika kau menjadi penjaga warnet. Dan ketika sepuluh orang dari kelas
kita, termasuk kau dan aku, mendapat gelar siswa dengan nilai ujian murni
tertinggi, aku sangat terharu. Lalu kita kembali ke tepian pantai, mengunjungi
cemara kita, mengganti rumus-rumus ujian nasional dengan doa-doa, harapan yang
baru. Dan di bawah tegakan pohon cemara laut itulah segalanya dimulai.
**
Ketika aku sedang merapikan file-file ku yang
berada di meja kost, telepon genggamku terdengar bernyanyi. Ada sebuah nomor
tak dikenal yang menelponku, dan ternyata itu adalah kau, sahabat karibku.
“Aku ikut PKM, pul. Minggu depan
insha Allah aku mau ke Makassar,”
Lagi-lagi
kau membuatku kagum, sekaligus malu. Pekan depan kau akan mengikuti PIMNAS yang
ada di Makassar karena program kreativitas mahasiswamu lolos seleksi.
“ Dari IPB ada 10 tim, dan aku salah
satunya “ lanjutmu dengan nada semangat, sama seperti setiap kali kau
menceritakan mimpimu.
Kecintaanmu
pada kampus yang berada di pulau Jawa bagian barat ini nyatanya tak pernah
pudar. Bahkan semenjak kau belum mendaftar menjadi mahasiswa di perguruan
tinggi negeri ini, kau yakin kau akan diterima, dan sekarang bahkan kau mendapakan
hal yang lebih besar
“ Amazing ! “ sahutku seraya tertawa
renyah
“ PKM-ku isinya tentang pemanfaatan serasah
cemara di pantai untuk bahan papan partikel. Dan kamu tahu Pul. Cemara ini tuh
namanya bagus lho aslinya. Casuarina equisetifolia,
Pul nama latinnya, hahahaa ! “
“ Jadi selama ini pohon yang kita
datengin itu perempuan yo, San. Pantesan kemaren waktu aku liat kesana anaknya
udah banyak ! “ sahutku sembari menahan tawa karena waktu itu jam sudah
menunjukkan pukul dua belas malam dan kamar kost yang lain sudah terlihat
gelap.
Aku,
Hasan dan Casuarina equisetifolia,
tentang cerita persahabatan dan perjuangan kami, anak nelayan di kampung
cemara.
*catatan
:
Lotek : sebuah makanan seperti gado-gado
yang bisa dijumpai di daerah Jawa tengah-Jogjakarta
Rese :
sebuah sebutan untuk ikan asin yang dijual di pasar tradisional di daerah Jawa
Selesai
Komentar
Posting Komentar