ketika komisi kedisiplinan tak lagi menyeramkan
Cerpen ini pernah dimuat di majalah FORMAGZ Fakultas Kehutanan IPB edisi II tahun 2012
ringan kok ceritanya.. tentang komisi kedisiplinan masa perkenalan fakultas yang identik dengan kata seram, galak, muka datar, de el el itu deh.. tapi gimana ya kalo komdisnya kaya yang satu ini ??
“Kamu mau nyusahin yang
lain ya !”dia membentakku
ringan kok ceritanya.. tentang komisi kedisiplinan masa perkenalan fakultas yang identik dengan kata seram, galak, muka datar, de el el itu deh.. tapi gimana ya kalo komdisnya kaya yang satu ini ??
Ketika Komisi Kedisiplinan Tak Lagi
Menyeramkan
S
|
inar mentari
belum terlihat menerobos jendela kamar kost-ku. Cahayanya yang hangat pun belum terasa menyentuh pori-pori kulitku.
Weker pemberian mama di meja belajar masih menunjukkan pukul empat pagi. Tak
biasanya aku bangun sepagi ini. Kuregangkan badanku, lalu bangkit, dan
duduk sejenak di tepi tempat tidur.
Sambil duduk, otakku sudah dipaksa bekerja untuk memikirkan barang-barang apa
yang harus kubawa nanti. Oh
iya, dilarang memakai
aksesoris. ‘Huh,
payah’, pikirku. Kulepaskan dua cincin emas putih
yang selalu melekat di jariku, beserta sepasang giwang yang juga pemberian mama. Tiba-tiba
smartphone-ku bergetar. Pasti itu sms
jarkom
dari ketua AK. Ya, Anggota Keluarga. Hari ini adalah hari ketiga kami BCR, Bina Corps Rimbawan. Sebuah sebutan untuk masa perkenalan fakultas di kampusku, IPB, Fakultas Kehutanan. Hari pertama dan kedua sudah terlewati dengan ‘susah payah’. Sudah banyak uang yang kukeluarkan untuk mempersiapkan acara ini, waktu-waktu juga sudah kukorbankan demi dan untuk mengikuti satu persatu rangkaian acara BCR.
dari ketua AK. Ya, Anggota Keluarga. Hari ini adalah hari ketiga kami BCR, Bina Corps Rimbawan. Sebuah sebutan untuk masa perkenalan fakultas di kampusku, IPB, Fakultas Kehutanan. Hari pertama dan kedua sudah terlewati dengan ‘susah payah’. Sudah banyak uang yang kukeluarkan untuk mempersiapkan acara ini, waktu-waktu juga sudah kukorbankan demi dan untuk mengikuti satu persatu rangkaian acara BCR.
Kubaca
dengan cermat pesan dari
ketua AK-ku. “ Raincoat, botol air
mineral tanpa label ukuran 1,5 L dua buah,
obat-obatan pribadi, kertas bekas, la la la..” kulanjutkan membaca dalam hati. Kusiapkan juga dressscode yang akan kupakai. Kaos lengan panjang warna hitam tidak
ketat, celana lapang warna gelap, topi lapang,ikat pinggang warna hitam, ikat
rambut seragam satu angkatan, juga sepatu hitam bertali lengkap dengan kaos
kaki putihnya yang menutupi mata kaki. Aduh, ribetnya..
Dengan
masih menguap, kumasukkan satu per satu barang yang harus kubawa itu ke dalam daypack milikku. Kasian sekali tas lucu
ini, belum-belum warna merah cerahnya sudah rusak terkena kotoran-kotoran
tanah. Aku harus teliti, jangan sampai ada satu pun yang tertinggal. Aku tidak
ingin berurusan dengan sosok-sosok seram
dengan jaket rimbawannya-jaket penunjuk identitas mahasiswa Fahutan, yang selalu berteriak-teriak seperti ini, “
Woy, cepet, Dek! Lari, lari Dek”
Sebuah tulisan
“Komdis” yang melekat di lengan kiri mereka membuat kami, para peserta BCR enggan
dan sungkan untuk menyapa. Komisi Kedisiplinan, itu kepanjangannya. Betapa
tidak, mereka menyuruh kami menyapa mereka, sedangkan jika kami menyapa, tak
ada satu yang membalas, tak pernah ada senyum yang tersungging di bibir mereka.
Mau yang cantik, imut, ganteng, atau yang wajahnya biasa saja, sama semua
ekspresinya, datar.
Sesudah
shalat dan ‘mencicipi’ beberapa gigit roti, aku bergegas ke kampus. Di depan
kostku sudah berdiri seorang gadis hitam manis berkerudung, yang telah
menungguku untuk berangkat bersama.
Suara
teriakan seorang senior membuat kami heboh sendiri menata barisan kami. Ketua AK-ku berkomando
untuk menghitung jumlah kami dan menyuruh kami bersiap-siap. Olahraga yang
sangat menyenangkan, karena kami akan berlari-lari ria dengan membawa barang
bawaan yang super berat . Begitu sampai di sebuah area terbuka yang cukup luas,bak
barisan bebek yang digiring ke sawah, kami baris-berbaris ‘lagi’.
Tiba-tiba
bayangan sebuah benda melintas di kepalaku. Rasanya seperti ada yang
tertinggal. Benar sekali, ketika Komdis menyuruh kami mengeluarkan
barang-barang, dua buah botol mineralku tak ada di dalam tas. Aku lupa
meneruhnya kembali setelah melepas labelnya. Pantas saja tadi terasa lebih
ringan dari biasanya. Mati lah kau, kataku dalam hati.
“
Ada yang nggak bawa air mineral nih, Ka” seorang Komdis berbadan bulat berdiri
di dekatku sambil berteriak dengan suara khasnya, suara lantangnya selalu
membuat jantung berdebar lebih kencang dari biasanya.
Serba
salah, aku menunduk saja.
Dicatatlah
namaku, tak tau untuk apa. Suara-suara komdis lain saling bersahutan
menyalahkan kami, para peserta yang masih teledor lupa membawa ini-itu di hari
ketiga BCR. Suara-suara itu membuat kami bingung karena saking banyaknya yang
berbicara, jadi tidak jelas, sedangkan kami dipaksa untuk memberi alasan,
menjawab pertanyaan mereka.
Karena
mungkin waktu untuk berkoar-koar sudah habis, para peserta pun disuruh duduk
untuk mendengar penjelasan dari sang pembawa acara. Dua orang kakak di depan
dengan pembawaannya yang kocak mampu membuat suasana menjadi lebih sedikit
santai. Tema hari ini ternyata berjudul “Jungle Survival”. Sepertinya seru. .
“Petai yang kumakan tadi juga masih tersisa di mulutku.”
Tak
tahu lagi apa yang kurasakan. Lelah sekali dan kami belum makan. Aku tahu,
sebentar lagi semua akan berubah mencekam karena kami akan dievaluasi. Padahal,
kami baru saja bersenang-senang merasakan menjadi seorang rimbawan ketika kami
dapat masuk ke hutan, menjelajah tapak-tapak tanah di hutan pinus, mencium
segarnya daun-daunnan yang kaya akan oksigen, meski lokasi hutan kecil itu sebenarnya
tidak terlalu jauh dari kampus. Petai yang kumakan tadi juga masih tersisa di
mulutku. Selain mencicipi petai dan daun rasamala yang edible, kami juga disuguhi beberapa ekor ulat sebagai bentuk
pertahanan hidup di hutan jika kami kehabisan bahan makanan. Dan rasanya, Waw !
Kulirik
jam dinding yang menempel di dinding auditorium tempat kami dievaluasi. Seakan
ingin meledekku, jarum pendeknya sudah berada di angka enam. Kumasukkan jariku ke mulut dan kupaksa agar
aku muntah. Trik pura-pura sakit ini kuharap mampu membuat telingaku terhindar
dari omelan kakak-kakak senior yang sebentar lagi akan melampiaskan amarahnya
pada kami. Tapi perutku tak bisa diajak kompromi, alih-alih ingin mundur dari
barisan dan mengistirahatkan kaki, seorang senior wanita dengan penampilan
modisnya dan lipstiknya yang tebal datang menghampiriku. Para senior yang sudah
lulus pun ramai datang ke kampus kami pada saat BCR diadakan karena begitulah
tradisi fakultas kami.
“Hey,
mau ngapain kamu” berdirilah ia tepat di hadapanku dengan matanya yang melotot
bak burung hantu.
Aduh,
sial sekali. Beberapa debit air mungkin akan memancar ke arah wajahku. Panasnya
kuping ini, mau bicara takut salah. Tak bicara, disalahkan. Kalau tidak karena
rasa cintaku pada hutan, malas sekali aku berdiri di auditorium ini bersama
mahasiswa-mahasiswa semester tiga lainnya. Kasihan juga panitia-panitia ini.
Perjuangan mereka lebih berat, karena mereka harus datang lebih pagi dan pulang
lebih petang. Bukan kami saja yang dihukum apabila kami terlambat atau berbuat
kesalahan. Mereka pun sama, push up satu porsi-sepuluh kali push up, jika
mereka terlambat datang rapat, begitu yang kudengar dari kakak kelasku yang
juga menjadi panitia. Setidaknya, mengikuti dengan baik acara ini sama saja
dengan menghargai kerja keras mereka. Toh tidak salah juga meneruskan budaya
yang sudah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi di
fakultas tercintaku ini, Fakultas Kehutanan.
***
K
|
ubuka lagi buku
tugas BCR-ku. Foto berukuran tiga kali empat yang terpasang di sampulnya, penuh
dengan tanda coretan. Itulah cinderamata dari kakak komdis, atau mungkin mereka
iri melihat senyum manisku sehingga tinta pulpen mereka dengan leluasa
mencoret-coret bagian wajahku di foto itu. Alasannya, aku tidak boleh memasang
foto dengan wajah tersenyum. Foto formal katanya. Jika melihat buku ini,
ingatanku langsung tertuju pada muka-muka horor kakak komdis, canda tawa
teman-teman satu AK ku saat mengerjakan tugas BCR ini, juga teringat pada kue
biskuat bolu, makanan wajib yang selalu kami nikmati bersama sebagai sarapan.
Kewajiban mendapatkan biodata dan tanda tangan teman satu angkatan membuat kami
saling mengenal satu sama lain. Itu lah ciri khas dari fakultas kami. Kakak
kelas yang sudah lulus pun bisa kenal dengan adik kelasnya yang baru masuk
fakultas.
“Celana lapangku yang baru saja kubeli dan ingin kupakai dengan
tujuan ‘pamer’ pada teman-teman, ternyata membawa kesulitan bagiku.”
Banyak kenal, tentu banyak membuka ‘link’. Mau
pinjam buku ini, tinggal sms kakak ini. Mau pinjam carrier, datang saja ke
kostan kakak ini. Segala urusan menjadi mudah. Hal seperti inilah yang tidak kuketahui
dulu.
Pin
dan nametag yang kupanjang di samping meja belajarku, sudah tidak karuan lagi
bentuknya. Sisa-sisa lumpur yang kering, sebagai saksi betapa serunya saat kami
digembleng, diuji mental oleh para kakak-kakak untuk memberikan gambaran
keadaan hutan yang sesungguhnya. Masih sangat kuingat, waktu itu, hari puncak
BCR kami merayap di lumpur di area persawahan. Celana lapangku yang baru saja
kubeli dan ingin kupakai dengan tujuan ‘pamer’ pada teman-teman, ternyata
membawa kesulitan bagiku. Celana dengan kantung banyak itu ternyata berat
sekali bila dipakai untuk merangkak di lumpur, berat badanku yang memang tidak
sedikit menjadi tambahan beban yang tak mampu kutopang sendirian. Ketua AK-ku
yang tak tega melihatku jatuh bangun lalu menarikku agar bisa bergerak cepat.
Parahnya lagi, celana lapang itu terlalu besar dan kedodoran. Ikat pinggang
yang kupakai dengan kencang benar-benar menyiksaku. Aku nyengir mengingat
masa-masa itu.
Sesudah
berkubang dilumpur, kami digiring ke sebuah sungai yang cukup dalam. Bening
sekali airnya, sangat segar. Kami bahu-mambahu membersihkan badan teman cewek
kami yang kotor. Mengharukan sekali. Dan hari itu berakhir dengan “happy
ending” karena kami semua bersalaman. Wajah-wajah kakak-kakak komdis pun
berubah. Mereka yang biasanya memasang muka cemberut, malam itu tertawa bersama
kami sambil menyanyikan lagu Mars Rimbawan. Ada setitik air mata di sudut
mataku ternyata, bersamaan dengan lagu Mars Rimbawan yang tanpa sengaja
kunyanyikan. Tiba-tiba seseorang membunyikan klakson motornya. Bergegas kukunci
kamarku dan kuraih tas dari kursi, kuhampiri dia.
“
Sudah siap?” tanya seorang cowok diatas motor matic-nya
“
Iya kakak Komdis yang terhormat,” aku tersenyum meledeknya
“
Mau dihukum, Dek ?’ guraunya disertai ekspresi wajah datarnya, sama ketika ia
bertugas dulu membina kami
Kami
pun bergegas berangkat ke kampus. Wajah Komdis tak lagi seram bagiku, semenjak kami
saling mengenal. Perkenalan yang singkat dan secara tidak sengaja karena waktu
itu aku tertangkap olehnya melewati jam malam saat masih berada dalam rangkain
BCR. Sungguh pengalaman yang sangat menyenangkan. I Love You, Fahutan.
Komentar
Posting Komentar